ARISAN para ibu tidaklah memerlukan
perizinan apa pun. Baik dari instansi bahkan oleh suami masing-masing. Ini sungguh
melegakan. Itu sebabnya bisa berlangsung kapan saja, baik saat hujan maupun
saat panas. Forum itu amatlah menyenangkan, harum semerbak, seakan-akan ada
botol parfum tumpah ke lantai. Begitu pula gaun yang melekat di badan, langsung
direnggut dari balik kaca etalase. Kemudahan tanpa izin itu disebabkan
karena anggapan arisan itu seratus persen nonpolitik. Apa betul? Mari
kita saksikan sendiri.
Ny. Wati yang berkebaya ungu berbunga bakung berkata kepada rekan-rekannya betapa ia masygul belakangan ini. Masalahnya karena ia dijuluki “ekstrem kiri” oleh suaminya.
“Ekstrem kiri? Apa pula itu
maksudnya?” tanya Nyonya Lisa.
“Entahlah. Boleh jadi karena aku
senantiasa mengendus kemejanya setiap pulang kantor atau rapat, atau periksa
jangan-jangan ada bercak-bercak bekas gincu atau apa. Kewaspadaan perlu, bukan”.
“Tentu perlu, bahkan wajib. Lelaki itu
mesti diteliti terus-terusan sebelum terlambat. Julukan “ekstrem kiri” itu
kelewatan, bukan?" kata Ny. Wati seraya menjambret kue bolu.
“Apa kamu pernah pergoki sesuatu?”
“Tentu saja belum. Tapi itu bukan
berarti segala sesuatu sudah sip. Soalnya lelaki itu orang cerdik. Inilah yang
membuatku selalu senewen. Serba salah, punya laki bego membosankan, punya laki
cerdik bisa celaka”.
“Itu sudah resiko. Kawin itu seperti
berbelanja di toko juga, kita mesti teliti sebelum membeli”.
“Ah omong kosong. Mana sempat
teliti-teliti segala? Kejadian berlangsung seperti gempa, tak seorang pun
sempat begini atau begitu. Kalau nasihati kira-kira dong,” kata Ny. Wati.
“Benar juga kamu itu. Aku sendiri
waktu pacaran seperti orang kena sihir, tak ingat apa yang terjadi, eh
tahu-tahu sudah punya mertua,” kata Ny. Lisa.
“Dia sih tidak aneh-aneh. Lakiku itu
itu tak habis-habisnya mengikuti seminar ini seminar itu, lokakarya ini
lokakarya itu,. Ia amat serius. Barangkali model begitulah yang disebut
pemikir. Kecuali...?”
“Kecuali apa?”
“Kecuali sering menyindirku dengan
rupa-rupa sebutan. Kadang-kadang menyebutku “agen modernisasi”, kadang “motivator”,
bahkan dengan sebutan yang tak kupahami sama sekali. Lucu bukan?” kata Ny.
Lisa.
“Kenapa begitu?”
“Soalnya kecil saja. Kapan saja di
mana saja ia senantiasa kutelepon. Mendengar suaranya saja sudah cukup. Ini yang
namanya komunikasi timbal-balik.”
“Atau mencek!”
“Ya, atau mencek. Mencek dari waktu
ke waktu itu penting, lho”.
“Apa lakimu tidak jengkel?”
“Mula-mula ia kelihatan senang. Tapi
lama-lama memang dia jengkel dan sering diejek kawan-kawannya. Tapi, apa
peduli? Mumpung zaman menyediakan telepon, kenapa tidak dipakai? Kita hidup
dalam masa “revolusi komunikasi”, jangan sampai ketinggalan dong. Lagipula,
kalau suami sekali sudah kehilangan jejak, tunggu saja malapetakan yang bakal
menyusul”.
“Betul juga kamu itu”.
MATAHARI sudah tinggi, arisan
berjalan sempurna, artinya tanpa arah dan pimpinan sama sekali. Juadah dan
goreng-gorengan terus beredar tak putus-putusnya. Pembicaraan pun dari satu
perkara ke perkara lain. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Sesekali ada
pula yang coba-coba mengedepankan masalah ruang angkasa, karena bahan
omongannya kelihatan kurang, segera lenyap begitu saja. Sedangkan yang tampak
kurang selera hanyalah Ny. Rita. Dia yang paling langsing dari seantero
hadirat, berkat diet sepuluh tahun terus menerus.
“Apa ceritamu, Rita? Ngomong dong”.
“Aku serupa, tapi tak sama”.
“Apa itu?”
“Kalau Ny. Wati itu dipanggil
ekstrem kiri, aku masih mendingan. Suamiku pernah juga menyebutku ‘ekstrem
kanan,” kata Ny. Rita.
“Ada-ada saja kau ini,” seru hadirin
serentak.
“Duduk perkaranya sebetulnya
sederhana saja. Setiap aku ambil barang, bonnya kusuruh tagih sama suami.
Normal, bukan?”
“Apa selalu dia lunasi?”
“Tentu saja”.
“Apa dia tidak ngomel?”
“Tentu saja ngomel, kalau kebanyakan”.
“Apa hubungannya dengan ‘ekstrem kanan’?”
“Kamu ini bagaimana sih, itu sebabnya
barangkali ia menyebutku ‘ekstrem kanan”.
“Oh”.
Arisan pun selesai dengan mulus, mereka
akan bertemu lagi bulan depan di tempat berbeda.
Asal Usul; Kompas, 29 November 1987
Melanggan artikel lewat email
ini maksudnya ekstrem kanan itu suka telat mikir dan ga bisa ambil kesimpulan ya?? hehehe menarik....
BalasHapusEsai ini ditulis saat Orba di puncak kuasa. Salah satu cara Orba menyerang para oposisi adalah dengan menstigma pengkritiknya, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Mungkin itu yang ingin ditunjukkan Mahbub.
BalasHapus