Pertama-tama,
DPR perlu dihargai. Kedua, perlu ongkos. Sebab, baik sistem diktatorial maupun
demokrasi, kesemuanya butuh anggaran. Itu sebabnya mengapa dalam tempo reses
ini, dari 460 anggota, 23 diantaranya tetap tinggal di Jakarta. Sisanya pulang
ke rumah masing-masing, atau ke mana saja yang mereka kehendaki, pokoknya
istirahat.
UU
No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD punya peluang yang
tidak boleh disia-siakan. Pasal 35-nya mempersilakan lembaga yang bersangkutan
untuk mengatur kedudukan protokoler mereka masing-masing. Aturan-aturan itu
tentu saja harus dibikin bersama-sama pemerintah. Pasal 36-nya memungkinkan
mereka menyusun anggarannya sendiri, supaya sifat dan martabatnya mantap. Jadi,
di dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara bisa terpampang mata anggaran
khusus untuk lembaga-lembaga itu.
Supaya
peluang yang tersedia itu tidak percuma, dibentuklah Panitia Khusus yang 23
anggota DPR-nya berapat nonstop sampai tanggal 16 Agustus 72. Menyusun
aturan-aturan protokoler dan anggaran keuangan. Kali ini bukan untuk
kemaslahatan para pencoblos, atau siapa pun, melainkan buat diri mereka
sendiri. Kali ini harap publik memaklumi. Sebab, kalau bukan mereka sendiri,
siapa pula yang sempat memikirkan martabat dan nafkah mereka? Pemerintah tentu
kurang tempo, repot dengan urusannya. Apalagi rakyat. Tanpa Panitia Khusus
semacam itu, bisa kapiran.
Kira-kira
yang dimaui Panitia Khusus itu begini. Demi martabat, aturan protokol untuk
anggota DPR berikut pimpinannya harus jelas. Tak peduli yang dipilih atau
diangkat, pukul rata semua wakil rakyat. Kalau terhadap rakyat kebanyakan saja
tidak boleh sembarangan, apalagi wakilnya. Dalam resepsi, harus tegas kursinya.
Di mana presiden, di mana menteri, di mana gubernur, di mana beliau-beliau
anggota itu. Jangan sampai dibiarkan jongkok. Bukannya jongkok membahayakan
jiwa, tapi hanya gelandangan dan yang berminat hajat besar saja yang biasa
dalam posisi itu. Atau, umpama atas tarikan takdir ada seorang anggota DPR dan
seorang menteri, padahal kursi cuma satu: siapa gerangan yang mustahak
mendudukinya? Pilihan harus cepat dan tegas, karena mustahil mempersilahkan
keduanya duduk bertumpuk seperti keong. Inilah bidang protokol, tata-budaya
meletakkan seorang manusia pada proporsinya, supaya martabatnya tidak terombang
ambing tapi persis terpaut pada skala pangkat dan gaji yang diperolehnya.
Kemudian
soal anggaran khusus. Martabat akan bisa lebih tegak berdiri kalau ditunjang
oleh ongkos-ongkos yang cukup. Untuk tahun 1972-1973, tersedia anggaran DPR Rp
987.038.900,00. Ini buat segala-galanya, buat secretariat maupun anggota. Tampaknya
belum memadai. Katanya, umpama 2,6 milyar bolehlah. Dengan anggaran seperti
sekarang, urusan jadi agak seret. Mau cicill Volkswagen Rp 50.000,00 sebulan
hampir mustahil, karena honorarium akan habis ditelan mobil. Juga tak cukup
bikin poliklinik khusus anggota yang lumayan. Yang ada sekarang terlampau
sederhana, khusus persediaan obat-obatnya. Untuk sakit pusing kepala dan mules
yang enteng bolehlah. Sakit gigi tidak bisa. Padahal, melihat umur rata-rata
anggota DPR gigi mereka perlu perawatan intensif. Sebab, secara profesi, mereka
perlu bicara banyak-banyak. Peranan gigi sangatlah menentukan. Juga tak perlu
lagi menggendong karung beras dan gula pasir dalam kantong plastik tiap bulan
seperti tempo hari. Ini bisa bertautan dengan martabat. Sukar dibayangkan
apabila seorang senator seperti McGovern menggendong 2 kg gula pasir jatah
bulanannya ke rumah.
Jadi,
Panitia Khusus akan membikin rancangan aturan supaya secara protokoler pimpiman
DPR sama martabat dengan presiden, dan anggota DPR sama dengan menteri, begitu
pula gaji untuk nafkah rumah tangganya?
Soal
gaji sama mustahil, kata anggota DPR Amin Iskandar, yang juga jadi angota
panitia. Presiden AS gajinya $ 100.000. wakilnya $ 30.000. Ketua Kongres AS $
30.000. Menteri $ 22.000. Senator atau
anggota Kongres $ 12.000. Jadi, mana bisa disamakan, katanya. Bahkan kalau
perkara pension, di sini lebih lumayan daripada AS. Menurut Civil Act 1930,
senator AS sukarela memilih mau dapat pensiun atau tidak. Kalau mau, dipotong
6%. Pensiunnya baru bisa diterima kalau umur sang senator sudah 62 tahun. Di
sini, begitu sudah tidak jadi anggota DPR tak peduli tua bangka atau muda
belia, otomatis menerima pensiun.
Timbul
soal, apa sih sulitnya buat DPR menyodorkan anggaran untuk diri sendiri
seberapa dia perlu, bukankah Pasal 23 UUD 1945 menjamin baginya Hak Bujet yang
bertuah itu? Kalau DPR bisa “memberi” anggaran untuk pemerintah ratusan milyar,
kenapa dia tidak bisa menyisihkan untuk diri sendiri di dalam jumlah yang cukup
di daftar APBN?
Di
atas kertas memang jelas tuahnya. Pemerintah toh tidak bisa berbuat apa-apa
kalau DPR menolak anggaran tahunan. Tapi, berhubung DPR tidak pernah menolak,
bahkan mengurangi angka sepeser pun tidak, tuah Hak Bujet itu kurang bergigi.
Makanya, anggaran pemerintah gampang diakuri DPR, tapi belum tentu anggaran DPR
gampang diakuri pemerintah. Ini berabenya bagi Panitia Khusus. Entahlah kalau
pemerintah menjadi sedikit royal menjelang sidang MPR bulan Maret 1973 nanti.
Royal atau tidak royal, coba sajalah.
Tempo, 29 Juli 1972
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar