Buku Pramudya Ananta Toer yang ditulisnya di Pulau Buru memang dilarang. Tapi ada kalimat di situ yang menarik perhatian saya. Bunyi kalimat Itu: bersikap adillah sejak dalam pikiran. Siapa bisa bantah kebenaran anjuran itu ? Jelas saya, tidak.
Oleh sebab itu saya berusaha bersikap adil menilai kasus DR. KH. Idham Chalid. Sikap adil bukan saja mulai dalam pikiran, tapi juga ketika menuangkannya dalam tulisan ini. Sikap adil apa yang saya maksud? Begini. Dari sejak awal tahun 60-an saya mengidap sikap ganda terhadap diri DR. KH. Idham Chalid. Di satu pihak saya menyukainya, dan pada saat yang berbarengan saya menolaknya. Pergantian sikap yang satu ke sikap yang lain begitu seringnya sehingga sulit dihitung jari. Dan karena seringnya itu pula, maka segala sesuatu berjalan seperti tidak ada apa-apa. Bila laki-bini tiap menit bertengkar, para tetangga menganggapnya angin lalu. Tak seorang pun menyimak, kecuali meludah.
Apanya yang saya suka? Pertama karena dia kurus. Saya suka orang yang kurus. Kedua humornya tinggi. Saya suka humor, saya benci cemberut. Bukankah cuma binatang yang tidak suka tertawa? Ada memang saya dengar binatang kuda bisa tertawa, tapi saya kira itu bohong besar.
Dan apanya yang saya tolak? Sifat pelupanya yang tinggi. Ini memang manusiawi. Tapi jika kelewatan, masalahnya bisa jadi lain. Akibat sifat ini, sering dia bilang A pada saya dan bilang B pada lain orang. Padahal perkaranya itu-itu juga. Ini membuat saya tersandung-sandung. Padahal saya kurang suka tersandung-sandung itu. Kemudian saya juga kurang sepakat dengan kebiasaannya mengambang pada saat keputusan yang diperlukan. Bukankah tugas seorang pemimpin sebetulnya gampang saja: mengambil keputusan? Bilamana seorang pemimpin tidak suka mengambil keputusan tegas yang jadi pegangan (tak peduli keputusan itu benar atau meleset), maka segala sesuatu akan jalan mengambang. Seperti layang-layang putus talinya, dan akan jadi rebutan anak-anak.
Atas dasar itu saya sering melancarkan kritik terbuka, kadang kala keras. Akibatnya sering membawa akibat fatal buat diri saya, tapi saya tidak peduli. Misalnya kasus yang menimpa harian “Duta Masyarakat”. Sebagai pemimpin redaksi koran partai NU, saya tidak begitu saja tunduk kepada jalan pikirannya. Berulang kali saya ditegur, tapi saya nekad. Saya percaya sayalah yang benar karena jurnalistik memang bidang saya. Apa akibatnya? Akibatnya tentunya pada suatu saat turun suatu keputusan yang isinya cukup jelas: Harian “Duta Masyarakat” dipecat selaku organ resmi partai NU! Kendati akhirnya rujuk lagi, tapi yang jelas harian resmi partai NU itu pernah jadi anak gelandangan.
Apakah sikap penolakan terbuka saya ini diterima baik oleh alam seputar? Tentu saja tidak. Sikap saya seperti itu dianggap “bukan kultur NU”. Dianggap menyimpang dari tata nilai NU. Orang NU yang baik adalah orang NU yang menyimpan kritik di dalam saku belakangnya. Mengkritik pemimpin adalah bertentangan dengan keharusan hormat kepada orang tua. Bertentangan dengan akhlak “tawadhu”. Maka harga saya segera merosot menjadi harga seekor serigala yang mesti dijauhi. Mesti diceburkan kecomberan!
Orang yang paling rajin menasihati saya supaya merubah akhlak saya itu adalah KH. Saifuddin Zuhri. Merasa menjadi orang yang paling paham “kultur dan tata nilai NU”, dengan sendirinya saya senantiasa dapat dampratan, paling sedikit cegahan. Jangan begini dan jangan begitu. Bukan cara NU begitu. Mengkritik model begitu sudah berada di luar garis peradaban NU. Dan seterusnya.
Maka akibatnya sudah bisa dibayangkan: saya bingung bukan alang kepalang. Apakah saya mesti berdiam diri seperti sebatang lilin? Apa mesti saya telan saja apapun yang datang ke mulut tanpa periksa sedikitpun? Apa mesti saya iyakan apa yang mestinya saya tidakkan? Apa saya mesti meningkahi irama gendang yang ditabuh seorang pemimpin? Apa mesti saya tersenyum-senyum dan manggut-manggut meskipun saya tidak yakin kebenarannya? Apa kritik itu termasuk barang yang haram? Bagaimana mestinya yang bersikap “tawadhu” sedangkan saya berpendapat yang berbeda? Bagaimana mestinya saya mengatakan “Nol!” itu? Apa cuma boleh dalam mimpi?
Begitulah saya mendapat ceramah tentang “kultur dan tata nilai NU” sehingga saya bisa lulus cum laude bilamana diadakan satu ujian. Simpanlah kritik kamu itu, atau lemparkan ke tengah samudra hingga lenyap selama-lamanya. Unjukkan sikap “tawadhu” kepada pemimpin, tak peduli apapun yang dilakukan pemimpin itu. Itulah cara yang terbaik dan itulah cara yang paling selamat. Bikinlah kalbu pemimpin itu senantiasa girang gembira, itulah jalan terbaik yang tersedia bagimu. Sekarang saya menjadi bingung. Amat bingung! Orang yang justru jadi penasihat saya, orang yang senantiasa mencegah saya melakukan kritik terbuka, justru sekarang menjadi pengkritik yang paling keras terhadap diri DR. KH. Idham Chalid. Dan orang itu tak lain dan tak bukan dari KH. Saifuddin Zuhri sendiri! Bahkan bobot kritiknya jauh lebih keras dari yang biasa saya lakukan.
Rupanya dunia sudah terbalik sungsang, pikirku. Rupanya malam sudah menjadi siang dan siang menjadi malam. Sang wasit agung sudah turun sendiri ke lapangan dan menggiring bola hingga ke tiang gawang. Apalagi jadinya kalau bukan membikin saya terlongo-longo? Apa sesungguhnya sudah terjadi? Apa sekedar fatamorgana atau nyata senyata-nyatanya? Pening kepala saya.
Yang membikin saya lebih terlongo-longo adalah peristiwa belakangan ini. Bukan cuma KH. Saifuddin Zuhri yang turun langsung lancarkan dia punya misil kritik terhadap diri DR. KH. Idham Chalid, melainkan juga para ulama besar NU, saya ulang: para ulama besar NU! Bilamana NU itu dimisalkan sebagai perseroan terbatas, maka para ulama itu merupakan para pemegang saham istimewa yang kedudukannya tinggi di atas awan. Nah, apa komentar saya terhadap kejadian ini.
Kritik terbuka tampaknya sudah mulai membudaya. Kultur dan tata nilai yang selama ini dianggap amat mapan, dianggap tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, sekarang sudah berubah bentuk. Sekarang sudah bergeser. Sudah bergerak mencari bentuk barunya. Apakah ini berkat perubahan tata nilai masyarakat itu sendiri? Apakah ini menjadi kemauannya sang evolusi sosial itu sendiri?
Apalagi kritik para alim ulama NU terhadap kepemimpinan DR. KH. Idham Chalid bukanlah kritik sembarang kritik, melainkan kritik yang berbobot berton-ton. Kritik itu sudah menggunakan “fiqh” sebagai barometer. Artinya, DR. KH. Idham Chalid oleh para alim ulama besar NU termasuk Rois Aam NU, dianggap sudah berbuat di luar pagar kaidah “fiqh”. Apa artinya jika seorang Ketua Umum Tanfidziyah NU sudah dianggap para alim ulama tidak lagi berpijak pada kaidah “fiqh”? Tak mampu saya bayangkan.
Sikap ini sudah dikemukakan secara blak-blakan oleh para alim ulama termasuk Rois Aam di depan Menteri Agama Alamsyah malam Jum‘at tanggal 4 Juni 1982 di Jakarta. Malam itu Menteri Agama mengundang para alim ulama yang terdiri dari KH. As‘ad Syamsul Arifin dari Situbondo, KH. Machrus Ali dari Kediri, KH. Ali Maksum dari Krapyak. Sesudah makan malam, mereka berbincang selama 1 jam 20 menit. Satu perbincangan yang lama dan intensif.
Tidak mudah menyimpulkan segala macam apa yang sedang terjadi di dalam tubuh NU ini. Tapi secara gampang-gampangan saja, bisalah saya katakan bahwa sedang terjadi pergeseran kultur dan tata nilai NU secara amat mendasar. Apa sebab secara mendasar? Karena baru kali ini terjadi seorang Ketua Umum Tanfidziyah berbeda pendapat dengan para alim ulama NU. Baru kali ini para alim ulama NU menganggap Ketua Umum Tanfidziyah (DR. KH. Idham Chalid) sudah tidak sejalan dengan kaidah “fiqh”.
Apa ujung cerita ini? Mana saya tahu! Yang jelas, ini bukanlah sekedar masalah rutin. Ini masalah amat mendasar yang menyangkut nilai-nilai dasar NU sendiri. Eksistensi rohaniah NU berada dalam taruhan. Bila organisasi yang namanya “Nahdlatul Ulama”, para ulamanya sudah bilang A dan Ketua Umum Tanfidziyah bilang B, hanya Tuhan saja yang tahu bagaimana menyelesaikan kemelut esensiil ini. Betul lho, saya tidak tahu.
Merdeka, 12 Juni 1982.