Pada suatu waktu, penyair Pablo Neruda mengambil keputusan sederhana: bahasa sajak itu tak usah muluk, tapi lumrah saja. Orang bisa paham, itu yang penting. Begitulah sang penyair yang pipinya tembem itu menulis kumpulan sajak Nyanyi Puja untuk Kaos Kakiku atau Nyanyi Puja Buat Bawang. Dan berhubung Neruda juga merasa berkewajiban poleksosbud (politik, ekonomi, sosial, budaya), kumpulan sajaknya, Canto Genereal pun sunggguh-sungguh menyentuh persoalan sejarah dan politik Amerika Latin.
Neruda basah politik, begitulah. Presiden Allende memaklumkan hari besar Chili tatkala Neruda memperoleh hadiah Nobel di tahun 1971. Tatkala presiden Allende mati akibat kup militer, penyair Neruda teramat sedih kalbunya, dan kemudian ikut mati. Jarang ada politikus dan penyair seakrab begini. Mungkin karena kedua-duanya marxis. Kedua-duanya berpanglima “politik”. Ganjil tidak ganjil, nyatanya Pablo Neruda tidak jalan sendirian. Di belakangnya susul-menyusul pengarang yang kena pukau pikiran-pikirannya: Cortazar–Garcia Marquez, Vergas Llosa.
Di negeri Indonesia kita ini, hubungan kedua profesional itu rusak. Entah siapa yang mulai main cemooh. Pokoknya rusak. Di mata seniman, politikus itu jorok, culas, tak patut dijadikan tetangga. Di mata politikus, seniman itu tak bisa dipahami, bahasanya bukan main ruwet. Apalagi jalan pikirannya, kalau yang disebut terakhir ini memang ada. Seniman itu bagaikan dari gugus etnografis lain yang kurang dikenal. Pendek kata, keduanya penghuni kebun binatang yang kandangnya berbeda, baik luas maupun bentuknya.
Tetapi, pada saat tertentu, terjadi pergeseran ganjil di antara mereka. Di satu pihak, parlemen yang merupakan TIM-nya politikus disindir “bersandiwara”, di lain pihak, muncul grup-grup teater yang mengubah panggung bagaikan parlemen, komplit dengan protes-protes sospolnya, lewat retorika atau slogan-slogan mulus. Di satu pihak, keluhan sospol orang parlemen semakin halus dan sopan-santun, bagaikan tuntutan sang menantu kepada mertua. Di lain pihak, seniman-seniman menghardik kerusakan sospol lewat kalimat-kalimat langsung dan nyaring. Hatta seorang tuli pun bisa mendengar. Suatu keajaiban sedang terjadi: parlemen jadi sandiwara, dan sandiwara jadi parlemen.
Di tahun 50-an, Asrul Sani sudah berkeinginan, “teater jadi alat demokrasi yang lain”. Di sana, orang bisa mendengar gerutu, atau protes, atau apa saja yang jadi problem publik, seperti layaknya sebuah parlemen yang normal. Teater merupakan parlemen tanpa fraksi, tanpa komisi, dan tanpa wakil pemerintah, kecuali yang datang menonton. Beda satu-satunya yang paling penting antara keduanya: yang satu pakai karcis, yang lain tidak.
Ada 111 grup teater yang ikut Festival Drama Remaja se-DKI, bulan September tahun lalu (Tempo 5 Januari, 1973). Belum dihitung grup yang non-remaja. Ini sudah bukan main. Gairah Pemerintah Daerah yang memberi bantuan pun termasuk bukan main. Bagaikan Sultan Harun Al-Rasyid yang memberi pundi-pundi dinar kepada para penyair. Termasuk kepada mereka yang secara tepat, namun indah mengeritik kebijaksanaan Sang Sultan.
Absurd. Apabila tidak absurd, teater semakin membeberkan problem sosial lewat penyamaran sesedikit mungkin, lengkap dengan konflik-konfliknya, atau kejahatan-kejahatannya. Disebut atau tidak disebut, problem politik yang mungkin disamarkan di forum parlemen resmi, telah muncul di panggung dengan lebih tegas, lewat kalimat yang kurang formal namun lebih jujur. Taruhlah bukannya menobatkan “politik sebagai panglima”, atau bukannya semacam pengembangan prinsip-prinsip estetika, panggung dari khasanah filsafat dan faham politik tertentu, namun teater hampir sempurna jadi forum buat publik menyaksikan persoalan-persoalan sendiri.
Kalau begitu halnya, parlemen “partikulir” ini jadi banyak juga: pers, teater (bisa juga lenong), dan film. Kecuali kena musibah cabut SIT, pers tak kenal sensor. Parlemen jalanan menurut aturannya dilarang. Film nasibnya paling berabe, karena tangan sensor yang lebar, resmi seratus persen, sewaktu-waktu siap membekuk batang lehernya, sebelum publik sadar apa yang terjadi. Teaterlah yang paling beruntung, bagai margasatwa yang tidak terjamah. Tiada sensor baginya, setidak-tidaknya sensor resmi.
Nyaris lupa: wayang purwa, yang sarat dialog, kelakar dan nyanyi. Kalau bioskop banyaknya cuma 500 di seluruh Indonesaia, tulis Pandam Guritno, di majalah The Indonesian Quarterly terbitan Oktober 1973, dalang dari rupa-rupa kaliber, banyaknya 20 ribu. Kalau mass media modern tak mampu menjembatani masyarakt kota dan desa, para dalang ini sanggup. Namanya saja purwa, namun bisa diisi dengan tingkat kemajuan yang berkembang. Itu barangkali sebabnya, begitu lepas jadi Menteri Penerangan, begitu Haji Boediardjo, terjun memimpin para dalang. Selain harus tahan kantuk, wayang tak kena sensor. Dalang yang ngelantur ganjarannya kesurupan, katanya. Ngacau, mendelik, berbusa.
Tempo, Januari 1974
Tidak ada komentar:
Posting Komentar