Kutip

Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. ("Kesatria"; Kompas, 14 Juni 1985)

Miskin


CORAZON Aquino memang tuan tanah besar. Tanahnya yang ditanam tebu melimpah di Provinsi Tarlac. Tapi dia maklum, penduduk yang tak memiliki tanah merupakan bom waktu yang tiap saat bisa meletus dan menumbangkan negeri. Corry tahu persis, kekayaan yang terlalu besar menumpuk pada diri di tengah kemiskinan bukanlah kesenangan, melainkan beban berat yang mendatangkan kikuk dan waswas.


Saya pernah bertamu ke rumah senator Salpada Padatun. Rumahnya kemilau berlantai marmer, dijaga oleh belasan pasukan swasta bersenjata lengkap beserta beberapa anjing herder. Seorang kawan redaktur senior majalah The Phillipines Free Press berkata bahwa tak kurang dari 315 tukang pukul bersenjata yang setiap saat bisa disewa. Tak kurang dari 80 politikus, 6 di antaranya para senator dan 37 anggota parlemen memelihara tentara swasta ini.


Di Filipina cuma dua persen penduduknya dipegang oleh tuan-tuan tanah dan 89 persennya dalam keadaan papa dan miskin tak punya kuasa apa-apa. Kekuasaan ekonomi dan politik dipegang oleh tak lebih dari keluarga tuan tanah. Menurut pengamatan ekonom Gunnar Myrdal yang terbaca dalam An Inquiry into the Poverty of Nations, demokrasi yang sehat tidak jalan di Filipina. Kelicikan dan tipu muslihat merupakan permainan politik yang diterima umum sebagai keadaan normal.


Di negeri ini tahun 1981 dan tahun 1988 terjadi di Jenggawah, Jember dan Badega kegemparan yang menyangkut ratusan ribu petani miskin. Mereka yang tadinya susah menjadi tergencet oleh ulah mereka yang ingin merebut tanahnya. Bulan Mei 1995 soal tanah itu muncul kembali lewat hubungan PT Perkebunan PTP XXVII. Petani-petani itu merasa terancam akan digusur dari tanah yang dicintainya.


Teringatlah karya Dostoevsky Si Dungu di mana tokohnya Myskin pernah berkata, “barangsiapa tidak memiliki tanah sendiri berarti dia pun tidak memiliki Tuhan”.


Kemudian berkata pula tokoh Zossmina kepada Aloysha agar membiasakan meletakkan dahi menyentuh tanah. “Ciumlah ia sehabis-habis cium, cintailah tanah itu sehabis-habis cinta karena tanah itu adalah segala-galanya”. Sedangkan tokoh Maria Lebyandhina berkata dengan bibir gemetar bahwa buat orang Rusia tanah itu adalah bagaikan “ibunda yang dipersembahkan kepada kita dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mesti dipeluk sambil sembahyang menghadapNya”.


Dostevsky pastilah tak pernah ke Jember, bahkan letak Jenggawah itu pun tak tahu. Tapi sebagai pembela rakyat kecil tak punya tanah yang berulangkali diamankan oleh penguasa dan dibuang ke Siberia oleh Tsar Nicolas II, ia tahu pasti betapa lemahnya kaum tani tak bertanah itu dan betapa empuknya mereka jadi bahan perasaan kaum yang kuat dan berpunya. Dostoevsky tahu pula bahwa di samping lemahnya kaum tani tak bertanah itu, ia pun maklum pula betapa kuatnya semangat dan tekad mereka untuk melakukan perubahan dan perbaikan nasib, sekuat mata bajak membongkar tanah.

ORANG-orang yang tinggal di Desa Cipangramatan, Tanjung Jaya, Bojong, Jaya Bakti, Cikajang dan Banjarwangi sebelah selatan Garut mengeluarkan pernyataan keprihatinan bukan dengan kalimat-kalimat Dostoevsky, melainkan dengan bait-bait sajak Rendra dari cuplikan sajak-sajak orang miskinnya.
            “Jangan kamu bilang negara ini kaya, karena orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.”

(Asal Usul; Kompas, 18 Juni 1995)

Melanggan artikel lewat email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar