Sosialisme
ala Indonesia, kata Bung Karno, bukanlah seperti Uni Soviet atau RRT atau
Yugoslavia atau Mesir, pokoknya bukan seperti siap-siapa. Kalau masalahnya
sekadar bukan ni bukan itu, jangan-jangan bukan sosialisme sama sekali, tukas
Njoto yang PKI.
Itu
tentang sosialisme, sekarang tentang Pancasila. Negara berdasar Pancasila bukan
negara agama, tapi juga bukan negara sekuler, kata Prof. Dr. N. Drijarkara
tahun 1959. Bagaimana memahaminya? Bukan sekuler, karena negara mengakui dan
memberi tempat buat religi. Bukan negara agama, karena tidak mendasarkan diri
atas suatu agama tertentu.
Demokrasi
ekonomi adalah yang bukan free fight
liberalisme, tapi bukan pula etatism,
dan bukan pula monopoli merugikan
masyarakat, kata GBHN. Baiklah, tapi yang bagaimana? yang sosialistis,
religius, petunjuk presiden Soeharto tatkala Dies Natalis UI ke-25. Begitu
halnya Demokrasi Pancasila, bukannya liberal, bukannya terpimpin, dan bukan
pula diktatur, yang dalam hal menyelesaikan masalah nasional lewat masyarawah
mencapai mufakat.
Baku
hantam agama tidak betul. Yang betul kerukunan hidup antar agama. tapi,
bukannya sinkretisme, kata menteri agama Mukti Ali. Sebab, sinkretisme mau
coba-coba campur aduk segala rupa agama menjadi satu. Karena menganggap semua
agama itu satu punya latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri. Terikat
hukumnya sendiri-sendiri. Jalan sintesa? Itu kan cuma kerja comot sana comot
sini. Apa guna!
Belakangan
timbul “bukan” yang lain. Modernisasi bukan westernisasi ujar Prof. Dr.
Kuntjaraningat. ”Bukan” ini perlu diberitahukan karena banyak orang yang tidak
tahu. Dikira pakai topi malam-malam sudah tergolong modernisasi. Atau angkat
kaki di pinggir meja. Atau minum bir. Atau tidak lagi mandi tiga hari tiga
malam. Atau kalau bicara yas yes yos. Atau kentut di depan umum.
Padahal,
modernisasi masalah mengubah mental, usaha sadar menyelematkan diri dengan
keadaan sekarang, supaya jangan sampai orang jalan ke depan, kita jalan miring.
Meminjam konsep C. Kluckhohn, tanda-tanda orang modern ada 5 : punya sikap
positif terhadap hidup - punya orientasi karya yang tinggi - punya orientasi ke
depan - punya hasrat menguasai alam - individualistis.
Kalau
resep yang banyakan juga ada, ambil punya Alex Inkeles, modernisator edisi
Harvard, 9 macam tanda: punya sikap terbuka terhadap perubahan - punya opini
terhadap masalah yang timbul di sekitarnya - orientasi ke masa depan - hidup
berjalan lewat rencana dan organisasi - dunia ini bisa diperhitungkan bukan
pasrah nasib-nasiban - menghargai nilai diri dan orang lain - yakin akan faedah
ilmu dan teknologi - percaya pada tiap hasil yang diperoleh semata-mata berkata
jasa yang diberikan, bukan sebab-sebab lain, distributive-justive.
Bukan
semua mesti ditelan. Nilai agama dan keluarga tak usah digeser-geser. Tapi
nilai orientasi karya, disiplin murni. Orientasi ke masa depan, hemat,
mengelola alam, menilai tinggi inisiatif individu. Harus dikembangkan.
Bagaimana akan hal gotong royong? Kalau itu berarti ide bahwa orang hidup di
dunia ini cuma unsur kecil belaka yang ikut beredar dalam kosmos besar, okey.
Tapi kalau maksudnya menghayo-hayo rakyat seraya memberi upah murah, tidak.
Apalai sambil menendang pantatnya, sekali-kali tidak.
Ini
suara antropolog Indonesia. Astrolog sih orang banyak tahu, tapi Antropolog?
Bisa dimaklum, tulis Clyde Kluckhom (Mirror
of Man, 1961) yang konsepnya diikuti Koentjaraningat. Dianggap sekadar
tukang ukur tengkorak, pengumpul pot tembikar yang tukang loak pun tak sudi
menyentuh, penggali kuburan yang menggelikan, gemar berkencan dengan tukang
penggal kepala, tak henti-hentinya cari missing
link sampai kaki semutan, merenung-renung apa sebab orang China tak doyan
susu, selidik sampai mata lamur di Amerika jadi Amerika. Pendek kata,
antropolog itu dianggap satu-satunya makhluk yang sampai hati memandang
tempayan Indian sama kreasi budayanya dengan sonata Bethoven.
Padahal,
urusan antropolog tidak seganjil itu benar. Dia mencoba meletakkan dasar ilmiah
buat masalah dunia yang pelik, apa sebab manusia yang berbeda-beda usul,
tingkat pengetahuan dan cara hidup, bisa akur bergaul tidak cekcok, tidak
saling cekik dan tikam sesamanya. Buktinya, Prof. Dr. Kuntjaraningrat telah
menyuguhkan problem, lepas dari soal setuju atau tidak setuju, yang tidak kalah
penting dengan APBN. Dan buktinya, pengarang The Proper Study of Mankind, Stuart Chase, berkomentar tentang
karya Clyde Kluckhon : Coba kalau negarawan dunia merenungkan betul-betul
apakah yang tersurat dalam Mirror of Man,
niscaya semua orang bisa tidur nyenyaklah.
Tempo, 15 Maret 1975
Melanggan artikel lewat email
bukan ini bukan itu, comot sana comot sini tanpa aba-aba, tapi asyek dibaca, dan yg pasti penuh pengetahuan dan informasi
BalasHapusNyimak
BalasHapussaya masih baca....sedap...
BalasHapusSelain gagasannya keren. Diksi yang digunakan Mahbub dalam tiap-tiap kalimat di esaynya itu loh yang membuat saya candu.
BalasHapus