Sarimin
dan Khou Kek Beng berasal dari Jepara. Ketika masih sama-sama kere, mereka akur
bagai sepasang kaztak dari satu liang. Hari demi hari, terasa keganjilan.
Sarimin hidupnya terengah-engah, Khou Kek Beng sebaliknya. Sarimin masih bergulat
di kaki lima, Khou Kek Beng sudah punya toserba. Sarimin gagal peroleh kredit
KIK walau sudah menyembah-nyembah hingga jidatnya terantuk tanah, Khou Kek Beng
peroleh kredit besar hanya dengan kerdipan mata. Hidup Khou seperti bertengger
di awan, hidup Sarimin tetap dalam lubang yang dulu.
Mulanya
Sarimin menganggap ini semata-mata suratan nasib, karena itu tidak perlu jadi
pikiran besar. Tapi karena jarak keduanya makin melebar, Sarimin merasa ada
yang tidak beres. Ini pasti ada manipulasi garis-garis yang sudah ditentukan
dari langit. Sedikitnya, ada penyimpangan sistem. Makanya ia mulai membenci
Khou, kalau bisa malah kepingin menyiramnya dengan air comberan. Keakuran massa
Jepara berubah menjadi kebencian etis. Sarimin suka berdiri di muka kaca, memerikasa
warna kulit, meneliti lebar mata, membanding-banding letak geraham, bahkan
menghitung-hitung jumlah bulu. Ya, memang ada beda dia dengan Khou, memang ada
beda kaki lima dengan toserba.
Khou
Kek Beng merasakan betul perubahan itu. Baiklah Sarimin, katanya pada suatu
hari. Mulai nanti sore namaku kuganti menjadi Paijo; aku mau kawin sama Inem,
gadis centil teman naik kebo tempo hari, asal saja kamu stop perbuatan berdiri
di muka cermin, stop menganggapku keturunan tuyul, stop membenciku seakan aku
ini seekor biawak. Hanya saja, mengharap agar aku kembali jadi kere rasanya
sulit. Kamu kira pekerjaan gampang buat seorang pengusaha toserba berubah jadi
kere dalam semalam? Ini memerlukan seminar berbulan-bulan. Sarimin tidak ambil
pusing, dia tetap mengumpat hingga timbangan badannya turun dan gusinya
bengkak. Dia ingin gantung diri, tapi tidak punya keberanian.
Kisah
dua hamba Allah ini sampai ke kuping Yayasan Prasetya Mulya yang gedungnya baru
saja diresmikan di Jakarta, dan pada waktu yang hampir berbarangan sampai pula
ke telinga Dr. Mubyarto di Universitas Gadjah Mada sana. Keduanya merenung
semalam suntuk, dan keduanya sampai pada kesimpulan: masalahnya bukan terletak
pada beda etnis; masalahnya terletak pada kesenjangan sosial ekonomis.
Tak
ada itu benci rasial; yang ada kecemburuan akibat tingkat hidup berbeda.
Percuma saja Sarimin berdiri di muka kaca periksa beda lebar mata dan warna
kulit dan jumlah bulu – karena selain tidak memecahkan soal, juga kedengarannya
primitif. Percuma saja Khou Kek Beng ganti nama dan persunting Inem baik
penumpak kebo ataupun macan. Khou Kek Beng atau Paijo, Inem atau non Inem, sama
saja dilihat dari arah bintang.
Jadi
bagaimana? Yayasan Prasetya Mulya pimpinan Sudono Salim anggap perlu tingkatan
kualitas manusia lewat didikan manajemen, karena jangan-jangan kesenjangan
sosial ekonomi itu disebabkan oleh mutu keterampilan tak merata – hingga
seorang Sarimin tetap melata di bumi sedangkan Khou Kek Beng sanggup
uncang-uncang kaki di awan. Beda kualitas memisahkan keduanya. Dan Dr. Mubyarto
anggap kesenjangan itu disebabkan oleh sistem yang tidak kena, karena itu jalan
ekonomi mesti diluruskan di atas rel Pancasila.
Memang
betul Psikolog Arief Budiman anggap gagasan Mubyarto tak lain impian yang bakal
kempes di tengah jalan; dan memang betul Ekonom Kwik Kian Gie tidak paham apa
sebetulnya yang dimaksudkan Mubyarto. Bagaimana kalau Yayasan Prasetya Mulya
Sudono Salim ambil prakarsa mendiskusikan Ekonomi
Pancasila-nya Mubyarto dalam satu forum nasional? Siapa tahu Sarimin dan
Khou Kek Beng bisa kembali akrab seperti dulu kala.
Tempo, 5 Januari 1985
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar