Kaum Samurai, si tukang perang
itu, banyak jadi pengusaha, menunjang modernisasi di zaman Meiji (1868) dan
seterusnya. Mereka punya rasa tanggung jawab yang kuat terhadap golongan tani,
perajin tangan, dan saudagar. Tata nilai yang berpengaruh di kalangan kaum Samurai
itu berasal dari jenis Jepang ajaran Konfusianisme. Ciri-cirinya : pragmatis,
setia, satria. Ini merupakan sumbangan kepada
promosi studi ilmu pengetahuan Barat. Orientasi kepada teknologi sangat tinggi.
Itulah antara lain isi kertas kerja Dr. Sinichi Ichimura dari Universitas Kyoto
kepada Seminar Jepang-Indonesia tentang Pembangunan Bangsa (26-28 Maret ’73 di
Jakarta) yang dikemukakan oleh H. Rosihan Anwar dalam tulisan Pengusaha yang
Tidak Hanya Cari Uang Kerjanya (TEMPO, 26 Mei). Biarpun tak berterang-terang,
tidaklah syak lagi H. Rosihan Anwar berhasrat supaya akhlak kaum Samurai itu
jadi proyek percontohan, baik oleh tentara maupun awan seanteronya di negeri
ini. Sampai berapa jauh hasrat itu terkabul baiklah kita tunggu.
Serentak membaca tulisan itu, saya kepingin bandingkan dengan
buku “The New Religions of Japan”
oleh Harry Thomsen (1963). Thomsen tidak mempersoalkan Restorasi Meiji, atau
peranan kaum Samurai, atau pengaruh “jenis Jepang ajaran Konfusianisme”,
melainkan keadaan rohaniah Jepang sesudah PD II. Bagaimana peranan agama di
dalam proses modernisasi yang sudah lanjut, bagaimana menunjang teknologi
dengan keyakinan-keyakinan religi, dan dalam bentuk apa saling perlu antara
agama dan teknologi.
Mungkin saja benar “jenis Jepang ajaran Konfusianisme”
ataupun ajaran Zen pada permulaan Restorasi Meiji menyemburkan nafas hangat
kepada modernisasi, tetapi sesudah PD II terjadi gambaran lain dalam ajaran
alam rohani Jepang. Shinto hilang di pasar, akibat merosotnya keuasaan kaisar
yang jadi kepala Shinto. Mc Arthur menyeretnya dari derajat di atas sana,
menjadi oknum yang terbatas langkah-langkahnya di gelanggang demokrasi
parlementer. Buddha turun pengaruh. Sikapnya yang pesimis dan menolak dunia
tentu canggung di depan teknologi. Dan Nasrani? Inilah susahnya: orang Jepang
menganggapnya agama asing. Bahkan Zen Buddhism sekalipun kurang maju. Jepang
modern yang repot kewalahan mengamalkan “pengembangan intuisi” seperti ajaran
Dr. Teitaro Suzuki (Christmas Humpreys: Zen Buddhism, 1949) yang tata-tertibnya
seperti ini: ketawalah terbahak-bahak, lantas coba jadi serius, kemudian
telanjang bulat, lalu biasakan menyelaraskan pikiran-pikiran yang kontradiktif,
juga belajar objektif, sesudah itu meditasi, lantas coba berkalem-kalem jangan
grusa-grusu. Ini ritual ruwet buat orang-orang mutakhir. Kalau begitu, lantas
bagaimana?
Maka bermunculanlah “shinko shukyo”, agama-agama baru.
Persisnya: bukan agama tulen dan bukan pula baru. Di samping memang ada yang
betul-betul baru, ada pula sekedar hasil permakan. Sebagian mencangkok dari
sana sini. Ada 171 agama baru terdaftar di Departemen Pendidikan.
“Perfect Liberty Kyodan” menganggap dirinya “agama
seni”. Kenapa pakai istilah asing? Sang ketua, Miki Tokuchika, tampil dengan alasan
praktis: berhubung kita kepingin modernisasi, maka kita pilih istilah AS. Lazim
pula dijuluki “agama golf” lantaran salah satu “ibadah”nya memang
mendorong-dorong bola kecil itu. Ada pula aliran “Tensho Kotai Yingu Kyo”,
yang lazim pula disebut “agama tari-menari”. Pendirinya seorang janda, Kitamura
Sayo, yang di tanggal 12 Agustus 1945 mengaku diperistri seorang dewa bi-sex
bergelar Tensho Kotai Yingu. Konon, dewa ganjil ini tak lupa mengajar Kitamura
perihal teknik modern masak-memasak dan penatu kimia, bahkan juga rupa-rupa
vitamin dan ramalan cuaca. Mulanya, Kitamura enggan, maka dihardiklah ia oleh
sang suami si dewa bi-sex itu dengan kata-kata “Kalau adinda membangkang,
kusepak perutmu hingga mencret, kukemplang kepalamu hingga gegar otak. Teriakkanlah
ajaran-ajaranku senyaring-nyaringnya, sampai tenggorokanmu lecet.” Mungkin nada
ini rada terlalu keras buat seorang dewa, tapi begitulah ceritanya.
Lalu yang ini: Rissho Kosei Kai, agama “pembina
kebenaran dan hidup akur”. Pemeluknya banyak dari kalangan buruh. Tokoh
pendirinya dua serangkai: Niwakano Shikazo, lahir tahun 1906, pekerjaan tukang
susu, Naganuma Myoko, perempuan, lahir tahun 1899, buruh pabrik yang bersuami
tukang es. Berhubung suatu saat sakit hebat, dan harus minum susu terus menerus,
berkenalanlah ia dengan Niwamoko.
Ada pula Dotoku Kagaku, yang maknanya moral science
atau moralogy. Ini semacam agama gado-gado. Ajarannya campuran antara: 1.
Amaterasu-O.Mikami, dewa nenek moyang kekaisaran Jepang yang ada di atas sana.
2. Konfusius dari negeri Tiongkok. 3. Sakyamuni dari anak benua India. 4. Yesus
Kristus dari Yudea. 5. Socrates yang keracunan dari Yunani (Chibusa Hiroike: An
Introduction to Moral Science).
Itulah sedikit gambaran “agama-agama baru” menurut pengamatan
Harry Thomsen. Tampaknya, di tengah era teknologi, Jepang memerlukan pegangan
rohani. Bukan ajaran yang ruwet, melainkan yang gampang dipahami, sehat dan
rekreatif. Agama-agama lama dianggap tidak praktis.
Walhasil: mungkin benar “jenis Jepang ajaran Konfusianisme”
bersifat penunjang di zaman restorasi Meiji, khusus di kalangan Samurai
sehingga berakhlak modern, satria dan idealis dan tak doyan duit seperti
diungkapkan Dr. Sinichi Ichimura yang dituturkan kembali oleh H. Rosihan Anwar
vai Tempo 26 Mei, tapi Jepang sesudah Perang Dunia II mempermak agama-agama
lama atau membikin yang sama sekali baru. Tentu mereka tetap pragmatis dan
realis selaku pemeluk-pemeluk “agama-agama baru” itu, yang banyaknya seperlima
dari seluruh penduduk. Pemeluk-pemeluk yang “saleh” menurut ukuran sana. Itu
pasti. Namun perkara doyan duitnya, masya Allah.
Tempo, 23 Juni 1973
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar