Kutip

Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. ("Kesatria"; Kompas, 14 Juni 1985)

Jepang Modern dari Sudut yang Lain


Kaum Samurai, si tukang perang itu, banyak jadi pengusaha, menunjang modernisasi di zaman Meiji (1868) dan seterusnya. Mereka punya rasa tanggung jawab yang kuat terhadap golongan tani, perajin tangan, dan saudagar. Tata nilai yang berpengaruh di kalangan kaum Samurai itu berasal dari jenis Jepang ajaran Konfusianisme. Ciri-cirinya : pragmatis, setia, satria. Ini merupakan sumbangan kepada promosi studi ilmu pengetahuan Barat. Orientasi kepada teknologi sangat tinggi. Itulah antara lain isi kertas kerja Dr. Sinichi Ichimura dari Universitas Kyoto kepada Seminar Jepang-Indonesia tentang Pembangunan Bangsa (26-28 Maret ’73 di Jakarta) yang dikemukakan oleh H. Rosihan Anwar dalam tulisan Pengusaha yang Tidak Hanya Cari Uang Kerjanya (TEMPO, 26 Mei). Biarpun tak berterang-terang, tidaklah syak lagi H. Rosihan Anwar berhasrat supaya akhlak kaum Samurai itu jadi proyek percontohan, baik oleh tentara maupun awan seanteronya di negeri ini. Sampai berapa jauh hasrat itu terkabul baiklah kita tunggu.

Serentak membaca tulisan itu, saya kepingin bandingkan dengan buku “The New Religions of Japan” oleh Harry Thomsen (1963). Thomsen tidak mempersoalkan Restorasi Meiji, atau peranan kaum Samurai, atau pengaruh “jenis Jepang ajaran Konfusianisme”, melainkan keadaan rohaniah Jepang sesudah PD II. Bagaimana peranan agama di dalam proses modernisasi yang sudah lanjut, bagaimana menunjang teknologi dengan keyakinan-keyakinan religi, dan dalam bentuk apa saling perlu antara agama dan teknologi.

Mungkin saja benar “jenis Jepang ajaran Konfusianisme” ataupun ajaran Zen pada permulaan Restorasi Meiji menyemburkan nafas hangat kepada modernisasi, tetapi sesudah PD II terjadi gambaran lain dalam ajaran alam rohani Jepang. Shinto hilang di pasar, akibat merosotnya keuasaan kaisar yang jadi kepala Shinto. Mc Arthur menyeretnya dari derajat di atas sana, menjadi oknum yang terbatas langkah-langkahnya di gelanggang demokrasi parlementer. Buddha turun pengaruh. Sikapnya yang pesimis dan menolak dunia tentu canggung di depan teknologi. Dan Nasrani? Inilah susahnya: orang Jepang menganggapnya agama asing. Bahkan Zen Buddhism sekalipun kurang maju. Jepang modern yang repot kewalahan mengamalkan “pengembangan intuisi” seperti ajaran Dr. Teitaro Suzuki (Christmas Humpreys: Zen Buddhism, 1949) yang tata-tertibnya seperti ini: ketawalah terbahak-bahak, lantas coba jadi serius, kemudian telanjang bulat, lalu biasakan menyelaraskan pikiran-pikiran yang kontradiktif, juga belajar objektif, sesudah itu meditasi, lantas coba berkalem-kalem jangan grusa-grusu. Ini ritual ruwet buat orang-orang mutakhir. Kalau begitu, lantas bagaimana?

Maka bermunculanlah “shinko shukyo”, agama-agama baru. Persisnya: bukan agama tulen dan bukan pula baru. Di samping memang ada yang betul-betul baru, ada pula sekedar hasil permakan. Sebagian mencangkok dari sana sini. Ada 171 agama baru terdaftar di Departemen Pendidikan.

Perfect Liberty Kyodan” menganggap dirinya “agama seni”. Kenapa pakai istilah asing? Sang ketua, Miki Tokuchika, tampil dengan alasan praktis: berhubung kita kepingin modernisasi, maka kita pilih istilah AS. Lazim pula dijuluki “agama golf” lantaran salah satu “ibadah”nya memang mendorong-dorong bola kecil itu. Ada pula aliran “Tensho Kotai Yingu Kyo”, yang lazim pula disebut “agama tari-menari”. Pendirinya seorang janda, Kitamura Sayo, yang di tanggal 12 Agustus 1945 mengaku diperistri seorang dewa bi-sex bergelar Tensho Kotai Yingu. Konon, dewa ganjil ini tak lupa mengajar Kitamura perihal teknik modern masak-memasak dan penatu kimia, bahkan juga rupa-rupa vitamin dan ramalan cuaca. Mulanya, Kitamura enggan, maka dihardiklah ia oleh sang suami si dewa bi-sex itu dengan kata-kata “Kalau adinda membangkang, kusepak perutmu hingga mencret, kukemplang kepalamu hingga gegar otak. Teriakkanlah ajaran-ajaranku senyaring-nyaringnya, sampai tenggorokanmu lecet.” Mungkin nada ini rada terlalu keras buat seorang dewa, tapi begitulah ceritanya.

Lalu yang ini: Rissho Kosei Kai, agama “pembina kebenaran dan hidup akur”. Pemeluknya banyak dari kalangan buruh. Tokoh pendirinya dua serangkai: Niwakano Shikazo, lahir tahun 1906, pekerjaan tukang susu, Naganuma Myoko, perempuan, lahir tahun 1899, buruh pabrik yang bersuami tukang es. Berhubung suatu saat sakit hebat, dan harus minum susu terus menerus, berkenalanlah ia dengan Niwamoko.

Ada pula Dotoku Kagaku, yang maknanya moral science atau moralogy. Ini semacam agama gado-gado. Ajarannya campuran antara: 1. Amaterasu-O.Mikami, dewa nenek moyang kekaisaran Jepang yang ada di atas sana. 2. Konfusius dari negeri Tiongkok. 3. Sakyamuni dari anak benua India. 4. Yesus Kristus dari Yudea. 5. Socrates yang keracunan dari Yunani (Chibusa Hiroike: An Introduction to Moral Science).

Itulah sedikit gambaran “agama-agama baru” menurut pengamatan Harry Thomsen. Tampaknya, di tengah era teknologi, Jepang memerlukan pegangan rohani. Bukan ajaran yang ruwet, melainkan yang gampang dipahami, sehat dan rekreatif. Agama-agama lama dianggap tidak praktis.

Walhasil: mungkin benar “jenis Jepang ajaran Konfusianisme” bersifat penunjang di zaman restorasi Meiji, khusus di kalangan Samurai sehingga berakhlak modern, satria dan idealis dan tak doyan duit seperti diungkapkan Dr. Sinichi Ichimura yang dituturkan kembali oleh H. Rosihan Anwar vai Tempo 26 Mei, tapi Jepang sesudah Perang Dunia II mempermak agama-agama lama atau membikin yang sama sekali baru. Tentu mereka tetap pragmatis dan realis selaku pemeluk-pemeluk “agama-agama baru” itu, yang banyaknya seperlima dari seluruh penduduk. Pemeluk-pemeluk yang “saleh” menurut ukuran sana. Itu pasti. Namun perkara doyan duitnya, masya Allah.

Tempo, 23 Juni 1973


Melanggan artikel lewat email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar