Hakikatnya sih perbuatan
mesum. Tapi karena orang Inggris bukan orang sembarangan, melainkan gentleman,
maka dia lebih suka menyebutnya white’s man burden. Orang Prancis
yang lebih puitis menyebutnya mission civilatrice, dan orang Jerman
penyebaran kultur. Sedangkan orang Italia, yang biasanya suka
hingar-bingar, kali ini tak menyuguhkan istilah apa-apa; Cuma mengumbar
altruisme agresinya dengan jalan merampas Somalia, menggaet Tripoli,
menginjak-injak Ethiopia dan Eritrea, serta melahap apa saja yang tampak di
atas buminya.
Buat orang Afrika
sendiri macam-macam sebutan itu tak banyak beda satu sama lain. Toh maksudnya
serupa: Membagi-bagi kampung halaman mereka seperti memotong kue talam,
mengangkut kekayaan benua raksasa itu ke Eropa, memecut punggung penduduk
hingga tak kuasa menjerit. Pokoknya kolonialisme dalam makna yang paling tulen.
Sivilisasi ataupun kultur yang ditawarkan Barat kepada Afrika tak lain dari
perbudakan sistematis, lewat dukungan bank dan lembaga-lembaga penyelidikan
ilmiah. Misalnya, tak lain dari sejarawan Honataux yang menampilkan rumus ajaib
bahwa Madagaskar secara historis menjadi bagian dari Prancis, sehingga Ratu
Hova tiba-tiba menjumpai negerinya yang 1.000 mil lebih luas dari negeri
Prancis sendiri menjadi daerah lindungan pemerintah Paris.
Belenggu yang melilit
leher ini mesti dipatahkan, cepat atau lambat. Hutan belantara supaya bisa
menyanyi lagi lewat gesekan daun dan dahan. “Masalah utama abad XX adalah
bagaimana corak hubungan kulit berwarna dengan kulit putih, baik di Asia,
Afrika, maupun di pulau-pulau sekitarnya,” kata William du Bois di kongres
pertama gerakan Pan Afrika tahun 1900 di London. Kepalan tinju segera
diacungkan oleh anak-anak jajahan yang bertubuh gempal dan bergigi seputih bulu
belibis: Kwame Nkrumah, Nnandi Azikiwe, Isaka Seme, Jomo Kenyatta, Tom Mboya,
Yulius Nyerere, Modeiba Keita, Sekou Toure. Campur aduk antara rasa kesadaran
ras blackism, paham nasionalisme modern, semboyan “Afrika untuk
bangsa Afrika”, bermuarakan ke suatu tekad jua adanya: kemerdekaan.
Penyair Aime Cesaire,
yang merasa kikuk dengan politik, dan memilih Paris sebagai markas besar
perjuangan kulturalnya melawan kolonialisme, segera berkencan dengan Petar
Guberina dari Yugoslavia dan mengajaknya berleha-leha di panta Dalmatian. Dan
lewat kumpulan syairnya Cahier d’Un Retour Au Pays Natale, yang tak
lebih dari 70 halaman, bermulalah suatu gerakan sastra baru yang bernafaskan
perlawanan aliran negritude yang penuh ratapan derita dan
sumpah serapahh. Akibat berikutnya sudah bisa diduga: Peradaban Eropa yang
katanya menjulang tinggi itu di mata mereka amatlah nista, tak lebih dari
seonggok jerami.
Mula-mula mereka
membunuh bapakku, tulis Penyair Diop, semata-mata karena bapakku punya harga
diri. Setelah itu mereka perkosa bundaku semata-mata karena bundaku cantik
jelita. Kemudian orang kulit putih yang penuh bulu itu nmenjemur abangku hingga
kering kerontang di bawah terik mentari khatulistiwa, semata-mata karena
abangku gagah perkasa, tangannya merah oleh aliran darah yang hitam. Dan
sesudah beres semua itu, menjeritlah mereka persis ke lubang kupingku: Hai
bocah gudik, ambil kursi dan serbet serta segelas bir kemari!
Dengus napas Politikus
Kwame Nkrumah dari Ghana ataupun tulisan penuh geram Penyair Leopold Senghor
dari Senegal, semua mendapat tanggapan semestinya di Konferensi Asia-Afrika,
Bandung, 1955. Kolonialisme mesti didorong naik ke tiang gantungan hari itu
juga. Di Priangan tambur ditabuh oleh tangan-tangan yang dengan sengaja
ditugasi membawa misi sejarah. Satu demi satu negeri-negeri Afrika peroleh
kemerdekaan, bukan karena belas kasihan, melainkan berkat terjangan tak kenal
ampun. Mulai dari pantai utara yang terbasuh riak Laut Tengah, padang pasir
Nubia yang terpanggang sepanjang tahun, padang rumput yang membentang mulai
Cape Verde hingga tepi-tepi Sungai Nil, daerah curahan hujan khatulistiwa yang
berhutan lebat sorga para binatang, hingga belahan selatan tempat dataran
tinggi gandeng-bergandeng dengan prairie – bendera-bendera
nasional berkibar di tiang-tiangnya.
Hanya tiga tahun sesudah
itu berlangsung Konferensi Negara-negara Afrika Merdeka di Accra tahun 1958, di
Addis Ababa tahun 1960. Para hadirin menjunjung sepuluh jari Piagam PBB,
Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia, dan Deklarasi Bandung. Penyair Leopold Senghor
sendiri sudah jadi presiden Senegal. Ia masih memuja Afrika seperti sediakala.
“Gadismu nan hitam menusuk hati, bagai sang petir menusuk rajawali.” Dan tak
lama lagi bulan April tiba. Sudah 30 tahun umur Konferensi Asia-Afrika. Banyak
mereka yang sudah tiada, tapi semangat Bandung terasa sepanjang masa, seperti
udara.
Tempo, 23 Maret 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar