Di tahun 1966 orang nyaris bersepakat tak perlu lagilah itu
tipe kepemimpinan solidarity-maker, yang melompat dari podium ke podium,
bagaikan awan tergantung di atas lautan massa. Sudah bukan zaman. Dia mungkin
obyektif benar untuk masanya, tapi tidak untuk seluruh masa. Yang diperlukan
tipe “administrator”, seperti Kennedy atau si tua Adenauer itu. Maka muncullah
tipe kepemimpinan edisi baru, model mutakhir, produk cemerlang sanjungan
demonstran.
Sekarang, yang tadinya baru itu sudah dianggap tidak baru
lagi. Perlu yang lebih baru. Segala berkembang secara dialektis. Administrator
itu baik, tapi urusan manusia sudah terlanjur ruwet, mustahil bisa dipahami
hanya dengan memperlakukan mereka bagaikan bundel-bundel dan angka-angka.
Teknokrat, si dewa-dewa modern, itu baik, tetapi membangun pabrik tidak sesulit
melakukan komunikasi sosial. Heterogin menuntut rasa cermat. Maklum, bukan
sekedar isi kepala yang berbeda, mmelainkan juga warna rambut dan
panjang-pendeknya yang tumbuk di kulit kepala.
Sekali waktu gertakan itu memadai, tapi lama kelamaan bikin
orang terheran-heran, apa tidak ada yang lebih penting daripada
gertak-menggertak. Apalagi jika gertak itu sudah menjadi rutin, orang akan
mengalami kesulitan menjadi takut. Dan orang pun menjadi lelah lantaran was-was
atau curiga yang tak berujung pangkal, yang pada akhirnya menganggapnya beban
batin yang sama sekali tidak perlu. Apa manfaat memandang dunia lewat kacamata
hitam, padahal sang surya selalu siap dengan anugerahnya yang percuma? Apa
bagusnya melihat keadaan orang lebih mudah diajak merasa takut daripada diajak
hormat? Demi selamat dan demi asap dapur, setiap orang siap menobatkan diri
jadi penyanjung dan si manis mulut, tersenyum-senyum tanpa sebab musabab yang
jelas, jadi hipokrit dan kompromis, menyembunyikan sikap pribadi jauh di
pantai, khawatir diketahui orang kecuali dirinya sendiri. Ibarat terkait
balon-balon gas, pemimpin melambung jauh ke atas sana, sukar disentuh tangan
maupun hati, dan sukar pula diturunkan. Publik yang jelata di bawah, atau
mendongak sambil mulut ternganga, atau menundukkan kepala lunglai ke bumi,
persis di ujung jari-jemari kakinya, mencari jalannya sendiri dengan sisa-sisa
harapan, andaikata memang ada bersisa.
Kadangkala ada anjuran ambil jalan ringkas, bengis namun
terus-terang: pilihlah kepemimpinan tipe nasihat Niccolo Machiavelli kepada
pangeran Lorenzo yang perkasa. Pangeran itu kalau mau awet berkuasa harus
pandai-pandai meniru binatang singa dan binatang rubah. Jangan tiru singa saja,
karena singa tak mampu mengendus perangkap. Jangan tiru rubah saja, karena
rubah mudah diterkam serigala. Pangeran harus bisa jadi rubah supaya bisa
menjauhi perangkap, dan jadi singa supaya ditakuti serigala. Pendek kata, perlu
pemimpin itu memperlihatkan sikapnya yang penuh kasih sayang, setia, jujur
maupun, tetapi begitu keadaan menghendaki, persetan semuanya itu. Tetapi,
berhubung zaman sekarang para pangeran itu sudah terguncang-guncang mahligainya
oleh rupa-rupa revolusi, dan kekuasaannya pun sudah tipis benar, ajaran
Machiavelli itu kehilangan pendengar. (Pangeran Phillip kakanda Ratu Ellizabeth
dan Pangeran Bernhard kakanda Ratu Yuliana kedua-duanya menjabat Ketua
Penyayang Binatang, tingkat nasional dan internasional, semacam fungsi yang
ganjil tapi cukup menarik surat kabar. Mereka bukan saja meniru tabiat binatang
melainkan sudah sampai ke batas memandang binatang bagaikan kaum kerabat).
Lewat dia punya rentetan Parkinson’s Law yang sarat
kelakar tapi memikat, C. Northcote Parkinson mencoba-coba pula mengajukan
syarat kepemimpinan agak tahan lama, sambil lebih dulu mengkonstatir “krisis
kekuasaan” sebetulnya bermula dari “Revolusi Kaum Wanita”, tatkala rok berganti
celana, mereka memasuki perguruan tinggi dan membanjiri kotak suara pemilu,
menyebabkan pria berhenti jadi gentleman dan wanita terangkat ke atas sebagai
lady, anak-anak tak tahu siapa penguasa rumah, sekolah tak mampu
menggantikan otoritas sang bapak yang menurun, menjadilah mereka tak kenal
disiplin, yang jadi sebab kantor pemerintah dan bisnis penuh sesak oleh
berandalan yang tak tahu apa itu aturan.
Pemimpin perlu imaginasi, kata Parkinson, lantas menyusul
pengetahuan, punya kepastian bertindak, kesanggupan, keras hati campur sedikit
bengis, dan daya tarik. Pimpinan yang dungu, entah setan mana yang mengangkat
dia di sana, gemar mencari kesalahan, menghardik dan bergunjing, perutnya
sering mulas dan terlibat cekcok dengan istri. Keras hati campur sedikit bengis
itu perlu, untuk menghukum yang salah dan ngacau. Malapetaka yang menimpa dunia
sekarang lantaran kita suka mengulur-ngulur kenikmatan memberi instruksi,
mengharap peningkatan kualifikasi teknis yang tak berkesudahan sampai
orang-orang ini sudah lewat setengah umur, dan 20 tahun mendatang
segala-galanya jadi berantakan.
Yang sudah pasti, suara perihal perlu “kepemimpinan baru” itu
datangnya dari mulut pemimpin-pemimpin itu. Dan yang belum pasti, apakah
bermakna pergantian fisik, atau sekadar reparasi akhlak, lebih beramah-tamah
dengan penduduk, lebih sabar dengarkan keluhan, mengganti roman garang menjadi
roman jernih, setidak-tidaknya roman netral bagaikan umumnya pemeluk Konfusius
yang tulen. Bukan berarti penggantian “pimpinan nasional”, kata penjelasan
susulan. Tapi, apa saja yang termasuk “pimpinan nasional” itu?
Pada akhirnya, yang perlu perombakan sistem itu sendiri. Dari dulu two-way-traffic jadi mainan mulut. Kalau tak percaya, tanya Dr. Roeslan Abdulgani. Soalnya, cegatan lalu lintas terlalu banyak. Demokratisasi segenap sektor satu-satunya gerbang menuju komunikasi terbuka. Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, sekaligus. Pembangunan ekonomi bisa jalan tanpa demokrasi, mengapa tidak. Tapi, itu untuk siapa pembangunan itu, ini soal lain. Betul-betul soal lain.
Tempo, 8 Desember 1973
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar