Bikin
Proyek Senen itu susah. Tapi, merusaknya dengan sekali sabet, jauh lebih susah.
Pertama, perlu ada ribuan orang. Kedua, ribuan orang yang nekad. Apalagi, nekad
itu termasuk barang larangan, yang pelanggarannya memerlukan situasi rohani
tertentu. Begitu istimewa soal rusak-merusak ini, sehingga seorang dewa perlu
dijelmakan dan dipuja: Sang Siwa.
Begitu
pula hal bangun-membangun pada umumnya. Membangun itu sulit. Tapi, membangun
untuk kesenangan selapis kecil orang di tengah-tengah tetangganya yang hidupnya
bukan main ruwet, jadi lebih sulit. Pertama, perlu cerdik. Kedua, perlu
serakah. Jelas, urusan ini mustahil bisa dipegang orang awam.
Agar
supaya yang sudah sulit itu tidak jadi percuma, tidak dirusak atau tidak jatuh
ke tangan serakah semata, perlu ada yang namanya “strategi”. Strategi
pembangunan, begitulah. Rupa-rupa resep dan petuah sudah diperjual-belikan
orang, yang satu merasa lebih manjur dari yang lain, tak ubahnya bagaikan aneka
jenis obat batuk.
Sosialisme
Indonesia, ke situ kita menuju, kata Bung Karno. Awas, bukan Sosialisme ala
Rus, bukan RRC, bukan Mesir, bukan Yugo, bukan mana-mana. Mendengar ini, Nyoto
menyindir: Kalau soalnya bukan sosialisme ala ini atau ala itu, jangan-jangan
memang bukan sosialisme sama sekali.
Membangun
ekonomi yang bukan Etatisme dan bukan pula Liberal, kata GBHN. Untuk kesekian
kalinya, ekonomi “bukan ini dan bukan itu” tampil lagi dalam urusan strategi.
Dan di samping rumusan resmi, tak terhitung pula banyaknya rumusan sumbangan.
Mengingat soal bangun-membangun ini bukan beban ekonomi semata. Dr. Mukti Ali
mengkhotbahkan perlunya “strategi pembangunan yang pluralistik”. Apa itu?
begini: Negara itu harus boleh memilih cara membangun sendiri, yang selaras
dengan masyarakat. Jadi bukan harus berarti “westernisasi”. Biarpun pendapat
inikeluar di ceramah Goethe Institut beberapa hari sebelum dinobatkan jadi
Menteri Agama, tidaklah mengurangi arti pentingnya.
Bah,
nonsens semuanya itu, kata Mahbub ul Haq, penasihat senior Bank Dunia. seperti
halnya berpaling ke negeri-negeri maju cari bantuan sistem ekonomi campuran
Cuma mendatangkan bencana saja. Mendingan berpaling ke dalam, seperti ulah
Peking itu, cari pola konsumsi yang lebih sesuai dengan kemiskinannya, lewat
panci atau belanga atau sepeda. Tak meniru-niru negeri maju, membuang-buang
tenaga. Lantas, bagaimana pula itu strategi kesohor “kemiskinan sirna lewat
laju pertumbuhan yang tinggi”? Ini pun nonsens, kata Pakistani itu. Jurang si
kaya dan si miskin malahan jadi melebar, bukannya menciut. Satu-satunya
strategi yang paling jitu adalah: tanggulangi kemiskinan secara langsung, habis
perkara. Tak guna itu sistem ekonomi campuran, sistem “bukan ini dan bukan
itu”. Dan tak guna GNP-isme segala macam. Dan berhentilah jadi budak ekonomi
“permintaan pasar”, berhubung konsep ini terlalu mencemoohkan orang miskin yang
daya belinya lemah.
Nah,
apa yang harus dilakukan? Adakah sesuatu yang keliru pada
“strategi-pembangunan”? Apa perlu “etos baru” yang diusulkan Goenawan Mohamad,
yang kira-kira seperti gaya Ghandi, walau tidak usah persis betul? Yang
sederhana, lugu, tak muluk?
Walau
jam malam sudah tiada, orang sama bebasnya seperti kalong, dan toko Astra sudah
didandani lagi, soal pokok belumlah terpecahkan: bagaimana lebih mengurus orang
miskin. Bagaimanapun, ini harus ada yang mengurus. Kalau tidak, bisa jadi
urusan.
Tak
punya kekuasaan sama bahayanya dengan kebanyakan kekuasaan. Karena itu,
pembagian kekuasaan sebenarnya mengurangi risiko yang tidak perlu. Juga
pembagian rezeki yang lebih merata, berhubung orang susah gampang naik darah.
Ini merepotkan negeri, percayalah.
Sembari
melangkah ke sana, patut berbijak-bijak dengan kaum muda. Tak usah
berbelit-belit, karena mereka sudah paham. Coba saja dengan kata penyair Rus,
Yevgeny Alexandrovich Yevtushenko ini: “Mendustai
anak muda itu salah. Soalnya karena anak muda itu sudah mafhum. Soalnya anak
muda itu rakyat”.
Tempo, 2 Februari
1974.
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar