Kutip

Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. ("Kesatria"; Kompas, 14 Juni 1985)

Mengunyah-ngunyah Strategi


Bikin Proyek Senen itu susah. Tapi, merusaknya dengan sekali sabet, jauh lebih susah. Pertama, perlu ada ribuan orang. Kedua, ribuan orang yang nekad. Apalagi, nekad itu termasuk barang larangan, yang pelanggarannya memerlukan situasi rohani tertentu. Begitu istimewa soal rusak-merusak ini, sehingga seorang dewa perlu dijelmakan dan dipuja: Sang Siwa.

Begitu pula hal bangun-membangun pada umumnya. Membangun itu sulit. Tapi, membangun untuk kesenangan selapis kecil orang di tengah-tengah tetangganya yang hidupnya bukan main ruwet, jadi lebih sulit. Pertama, perlu cerdik. Kedua, perlu serakah. Jelas, urusan ini mustahil bisa dipegang orang awam.

Agar supaya yang sudah sulit itu tidak jadi percuma, tidak dirusak atau tidak jatuh ke tangan serakah semata, perlu ada yang namanya “strategi”. Strategi pembangunan, begitulah. Rupa-rupa resep dan petuah sudah diperjual-belikan orang, yang satu merasa lebih manjur dari yang lain, tak ubahnya bagaikan aneka jenis obat batuk.

Sosialisme Indonesia, ke situ kita menuju, kata Bung Karno. Awas, bukan Sosialisme ala Rus, bukan RRC, bukan Mesir, bukan Yugo, bukan mana-mana. Mendengar ini, Nyoto menyindir: Kalau soalnya bukan sosialisme ala ini atau ala itu, jangan-jangan memang bukan sosialisme sama sekali.

Membangun ekonomi yang bukan Etatisme dan bukan pula Liberal, kata GBHN. Untuk kesekian kalinya, ekonomi “bukan ini dan bukan itu” tampil lagi dalam urusan strategi. Dan di samping rumusan resmi, tak terhitung pula banyaknya rumusan sumbangan. Mengingat soal bangun-membangun ini bukan beban ekonomi semata. Dr. Mukti Ali mengkhotbahkan perlunya “strategi pembangunan yang pluralistik”. Apa itu? begini: Negara itu harus boleh memilih cara membangun sendiri, yang selaras dengan masyarakat. Jadi bukan harus berarti “westernisasi”. Biarpun pendapat inikeluar di ceramah Goethe Institut beberapa hari sebelum dinobatkan jadi Menteri Agama, tidaklah mengurangi arti pentingnya.

Bah, nonsens semuanya itu, kata Mahbub ul Haq, penasihat senior Bank Dunia. seperti halnya berpaling ke negeri-negeri maju cari bantuan sistem ekonomi campuran Cuma mendatangkan bencana saja. Mendingan berpaling ke dalam, seperti ulah Peking itu, cari pola konsumsi yang lebih sesuai dengan kemiskinannya, lewat panci atau belanga atau sepeda. Tak meniru-niru negeri maju, membuang-buang tenaga. Lantas, bagaimana pula itu strategi kesohor “kemiskinan sirna lewat laju pertumbuhan yang tinggi”? Ini pun nonsens, kata Pakistani itu. Jurang si kaya dan si miskin malahan jadi melebar, bukannya menciut. Satu-satunya strategi yang paling jitu adalah: tanggulangi kemiskinan secara langsung, habis perkara. Tak guna itu sistem ekonomi campuran, sistem “bukan ini dan bukan itu”. Dan tak guna GNP-isme segala macam. Dan berhentilah jadi budak ekonomi “permintaan pasar”, berhubung konsep ini terlalu mencemoohkan orang miskin yang daya belinya lemah.

Nah, apa yang harus dilakukan? Adakah sesuatu yang keliru pada “strategi-pembangunan”? Apa perlu “etos baru” yang diusulkan Goenawan Mohamad, yang kira-kira seperti gaya Ghandi, walau tidak usah persis betul? Yang sederhana, lugu, tak muluk?

Walau jam malam sudah tiada, orang sama bebasnya seperti kalong, dan toko Astra sudah didandani lagi, soal pokok belumlah terpecahkan: bagaimana lebih mengurus orang miskin. Bagaimanapun, ini harus ada yang mengurus. Kalau tidak, bisa jadi urusan.

Tak punya kekuasaan sama bahayanya dengan kebanyakan kekuasaan. Karena itu, pembagian kekuasaan sebenarnya mengurangi risiko yang tidak perlu. Juga pembagian rezeki yang lebih merata, berhubung orang susah gampang naik darah. Ini merepotkan negeri, percayalah.

Sembari melangkah ke sana, patut berbijak-bijak dengan kaum muda. Tak usah berbelit-belit, karena mereka sudah paham. Coba saja dengan kata penyair Rus, Yevgeny Alexandrovich Yevtushenko ini: “Mendustai anak muda itu salah. Soalnya karena anak muda itu sudah mafhum. Soalnya anak muda itu rakyat”.

Tempo, 2 Februari 1974.


Melanggan artikel lewat email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar