Kutip

Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. ("Kesatria"; Kompas, 14 Juni 1985)

Nostalgia Bulan November


Ada pahlawan dongengan, ada pahlawan sungguhan. Gatotkaca di pewayangan, Punchinello buat orang Italia, Punch buat orang Inggris, Karapet buat orang Turki, Petrushka buat orang Rusia, itu tokoh-tokoh jago yang tak bisa mati, tak pernah ada di dunia ini. Tetapi, arek-arek Surabaya, Muhammad Toha dari Bandung Selatan, Walter Monginsidi dari Ujung Pandang, betul-betul ada, betul-betul pahlawan, dan betul-betul sudah mati.

Apabila Charles de Coster mempersonifikasikan tokoh Thyl Ulenspiegel bagai lambang nasional Fleming, atau Romain Rolland lewat tokoh Colas Breugnon yang tipikal Burgundy, novelis kita Idrus berolok-olok tentang orang-orang muda yang berani. Tetapi Idrus kekecualian yang menyakitkan. Peristiwa kepahlawanan 10 November di Surabaya suatu hal yang serius, dan sekali-kali bukan gurauan. Coba saja pikir, berkelahi lawan bala tentara Inggris dan Jepang – walau kalah tapi cukup Jepang – betul-betul bukan pekerjaan rutin. Di sini, akal sehat tidak perlu. Yang perlu, nafsu mau merdeka dan keberanian, itu saja. Anak-anak Surabaya, bagaikan Gargantua-nya Rabealis edisi baru, lahir menggenggam senapan, mengacaukan batas beda antara hidup dan mati. Mendongakkan kepala ke langit, rambut gondrong lagi patriotik, menginjak fenomena zaman baru, manusiawi yang keras tapi indah, bagaikan lukisan Adam-nya Michael Angelo di loteng gereja Sistine, tanda bebuka Zaman Renaissance.

Lewat definisi yang amat dipersingkat, tindak kepahlawanan itu artinya bisa membunuh dan siap terbunuh. Itu sebabnya, bidang ini tertutup bagi mereka yang suka usia panjang. Itu sebabnya, jumlah pahlawan senantiasa lebih sedikit daripada penduduk kebanyakan. Itu sebabnya, pahlawan bagaikan zamrud di tengah-tengah batu kali. Maka dari itu, orang-orang yang tidak memadai bakatnya jadi pahlawan, lagi pula tak berkesempatan memalsu diri, setidak-tidaknya harus menaruh hormat kepada mereka, setidak-tidaknya sekali setahun, di upacara yang spesial disediakan untuk itu, 10 November. Setidak-tidaknya.

Tak ada pahlawan umum, yang ada cuma pahlawan khusus. Simbol kualitatif yang amat subyektif bagi tiap-tiap bangsa. Bisa pahlawan di sana, bangsat di sini. Lord Milner pembangun empirium Inggris yang piawai tak lebih dari penindas hina di mata penduduk Afrika Selatan. Si gondrong Bung Tomo tak lebih dari perusuh di mata bala tentara Sekutu. Di dalam buku setengah gila “Challenge To Terror” (London, 1952) Kapten “Turki” Westerling boleh merasa kagum akan dirinya sendiri, meraih 8 medali pertempuran dan 4 penghargaan tinggi militer di umur 31 sambil merasa dijuluki “Ratu Adil” yang ditunggu-tunggu orang, padahal sesungguhnya dia tak lebih dari tukang jagal biasa. Jose Rizal yang patriot dijungkirbalikkan faktanya seolah dia pernah minta ampun kepada Spanyol dan Gereja Katolik karena “keliru membela tanah airnya”, sehingga kepada Gregorio Aglipay Rizal menulis “Sudah lazimnya, semua reformis yang jujur di muka bumi ini akan terpentang di tiang salib”.

Sekarang, tatkala peranan kepala lebih dominan daripada peranan hati, orang lebih berhati-hati lagi terhadap maut. Meninggal dunia dengan demikian menjadi barang luks yang tidak boleh diboros-boroskan. Akibatnya, timbul keperluan menyederhanakan batasan pahlawan, terlebih lagi peperangan sudah langka benar, artinya agak sulit menemui pahlawan gugur dalam makna yang tulen.

Perhatian mulai terpaling ke arah orang-orang yang masih hidup. Mereka pun, apabila ada konsensus, bisa dinobatkan sebagai pahlawan, dalam keadaan yang mulus dan segar bugar. Ini terang suatu penemuan ide yang punya nilai praktis. Publik bisa memperoleh pahlawan-pahlawannya tanpa harus berduka cita lebih dulu. Bisa berhadapan muka, bersalaman, bepergian di atas bus yang sama, bahkan boleh pula bersenda-gurau, andaikata ada alasan yang cukup kuat untuk itu.

Lahir pahlawan-pahalawan di pabrik, di hutan belukar, di tengah ladang, di lubang tambang dan di langit. Kerja telah menjadi sesuatu yang kudus. Ilya Ehrenburg menyanjung pembangun Siberia bagaikan malaikat. “Mereka bekerja seperti bukan manusia. Binatang-binatang buas mundur semua”. Selanjutnya, anugerah simbolik: murah tapi jitu, bintang-bintang juga disematkan di dada, dan manusia yang lekas terharu oleh perhatian dan penghargaan, memandangnya ibarat mimpi.

Lewat maut atau tidak, menjadi pahlawan bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, syarat pertama dan penghabisan adalah berbuat bukan untuk kepentingan diri sendiri. Anak muda yang tersungkur putus nyawa di jalan  Tunjungan Surabaya bulan November 1945 itu, seperti halnya anak Palestina atau anak Vietnam di parit berlumpur Dien Bien Phu, adalah anak sejarah, kekasih tanah airnya, biji mata bangsanya, bunga segar tak terikat aturan musim, musik dari 1000 biola yang tak putus-putusnya. Dan orang-orang yang masih hidup zaman sekarang, baik yang beruntung maupun yang tidak, yang longgar dan yang sempit, menundukkan kepala tanda hormat di antara bunyi terompet, selama tak lebih dari 2 menit.

Sesudah itu, tersedia pilihan yang menegangkan: coba-coba jadi pahlawan atau coba-coba jadi penipu. Masing-masing memerlukan teknik yang berlainan. Yang satu menyebar keuntungan, yang lain merampok keuntungan. Yang satu bekerja untuk orang, yang lain menggiring orang bekerja untuknya. Yang satu dicintai, yang lain ditakuti. Pahlawan berpegang pada tali kalbunya, bagai tabiat orang Badui. Penipu menyimpan cakar-cakar rahasianya yang sukar diduga, tapi terasa bagai bisa.

Tempo, 17 November 1973


Melanggan artikel lewat email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar