Ada pahlawan
dongengan, ada pahlawan sungguhan. Gatotkaca di pewayangan, Punchinello
buat orang Italia, Punch buat orang Inggris, Karapet buat orang Turki,
Petrushka buat orang Rusia, itu tokoh-tokoh jago yang tak bisa mati, tak pernah
ada di dunia ini. Tetapi, arek-arek Surabaya, Muhammad Toha dari Bandung Selatan,
Walter Monginsidi dari Ujung Pandang, betul-betul ada, betul-betul pahlawan,
dan betul-betul sudah mati.
Apabila Charles de Coster mempersonifikasikan tokoh Thyl
Ulenspiegel bagai lambang nasional Fleming, atau Romain Rolland lewat tokoh
Colas Breugnon yang tipikal Burgundy, novelis kita Idrus berolok-olok tentang
orang-orang muda yang berani. Tetapi Idrus kekecualian yang menyakitkan.
Peristiwa kepahlawanan 10 November di Surabaya suatu hal yang serius, dan
sekali-kali bukan gurauan. Coba saja pikir, berkelahi lawan bala tentara
Inggris dan Jepang – walau kalah tapi cukup Jepang – betul-betul bukan
pekerjaan rutin. Di sini, akal sehat tidak perlu. Yang perlu, nafsu mau merdeka
dan keberanian, itu saja. Anak-anak Surabaya, bagaikan Gargantua-nya Rabealis
edisi baru, lahir menggenggam senapan, mengacaukan batas beda antara hidup dan
mati. Mendongakkan kepala ke langit, rambut gondrong lagi patriotik, menginjak
fenomena zaman baru, manusiawi yang keras tapi indah, bagaikan lukisan Adam-nya
Michael Angelo di loteng gereja Sistine, tanda bebuka Zaman Renaissance.
Lewat definisi yang amat dipersingkat, tindak kepahlawanan
itu artinya bisa membunuh dan siap terbunuh. Itu sebabnya, bidang ini tertutup
bagi mereka yang suka usia panjang. Itu sebabnya, jumlah pahlawan senantiasa
lebih sedikit daripada penduduk kebanyakan. Itu sebabnya, pahlawan bagaikan
zamrud di tengah-tengah batu kali. Maka dari itu, orang-orang yang tidak
memadai bakatnya jadi pahlawan, lagi pula tak berkesempatan memalsu diri,
setidak-tidaknya harus menaruh hormat kepada mereka, setidak-tidaknya sekali
setahun, di upacara yang spesial disediakan untuk itu, 10 November.
Setidak-tidaknya.
Tak ada pahlawan umum, yang ada cuma pahlawan khusus. Simbol
kualitatif yang amat subyektif bagi tiap-tiap bangsa. Bisa pahlawan di sana,
bangsat di sini. Lord Milner pembangun empirium Inggris yang piawai tak lebih
dari penindas hina di mata penduduk Afrika Selatan. Si gondrong Bung Tomo tak
lebih dari perusuh di mata bala tentara Sekutu. Di dalam buku setengah gila “Challenge
To Terror” (London, 1952) Kapten “Turki” Westerling boleh merasa kagum akan
dirinya sendiri, meraih 8 medali pertempuran dan 4 penghargaan tinggi militer
di umur 31 sambil merasa dijuluki “Ratu Adil” yang ditunggu-tunggu orang,
padahal sesungguhnya dia tak lebih dari tukang jagal biasa. Jose Rizal yang
patriot dijungkirbalikkan faktanya seolah dia pernah minta ampun kepada Spanyol
dan Gereja Katolik karena “keliru membela tanah airnya”, sehingga kepada
Gregorio Aglipay Rizal menulis “Sudah lazimnya, semua reformis yang jujur di
muka bumi ini akan terpentang di tiang salib”.
Sekarang, tatkala peranan kepala lebih dominan daripada
peranan hati, orang lebih berhati-hati lagi terhadap maut. Meninggal dunia
dengan demikian menjadi barang luks yang tidak boleh diboros-boroskan.
Akibatnya, timbul keperluan menyederhanakan batasan pahlawan, terlebih lagi
peperangan sudah langka benar, artinya agak sulit menemui pahlawan gugur dalam
makna yang tulen.
Perhatian mulai terpaling ke arah orang-orang yang masih
hidup. Mereka pun, apabila ada konsensus, bisa dinobatkan sebagai pahlawan,
dalam keadaan yang mulus dan segar bugar. Ini terang suatu penemuan ide yang
punya nilai praktis. Publik bisa memperoleh pahlawan-pahlawannya tanpa harus
berduka cita lebih dulu. Bisa berhadapan muka, bersalaman, bepergian di atas
bus yang sama, bahkan boleh pula bersenda-gurau, andaikata ada alasan yang
cukup kuat untuk itu.
Lahir pahlawan-pahalawan di pabrik, di hutan belukar, di
tengah ladang, di lubang tambang dan di langit. Kerja telah menjadi sesuatu
yang kudus. Ilya Ehrenburg menyanjung pembangun Siberia bagaikan malaikat.
“Mereka bekerja seperti bukan manusia. Binatang-binatang buas mundur semua”.
Selanjutnya, anugerah simbolik: murah tapi jitu, bintang-bintang juga
disematkan di dada, dan manusia yang lekas terharu oleh perhatian dan
penghargaan, memandangnya ibarat mimpi.
Lewat maut atau tidak, menjadi pahlawan bukanlah pekerjaan
mudah. Sebab, syarat pertama dan penghabisan adalah berbuat bukan untuk
kepentingan diri sendiri. Anak muda yang tersungkur putus nyawa di jalan Tunjungan Surabaya bulan November 1945 itu,
seperti halnya anak Palestina atau anak Vietnam di parit berlumpur Dien Bien
Phu, adalah anak sejarah, kekasih tanah airnya, biji mata bangsanya, bunga
segar tak terikat aturan musim, musik dari 1000 biola yang tak putus-putusnya.
Dan orang-orang yang masih hidup zaman sekarang, baik yang beruntung maupun
yang tidak, yang longgar dan yang sempit, menundukkan kepala tanda hormat di
antara bunyi terompet, selama tak lebih dari 2 menit.
Sesudah itu, tersedia pilihan yang menegangkan: coba-coba
jadi pahlawan atau coba-coba jadi penipu. Masing-masing memerlukan teknik yang
berlainan. Yang satu menyebar keuntungan, yang lain merampok keuntungan. Yang
satu bekerja untuk orang, yang lain menggiring orang bekerja untuknya. Yang
satu dicintai, yang lain ditakuti. Pahlawan berpegang pada tali kalbunya, bagai
tabiat orang Badui. Penipu menyimpan cakar-cakar rahasianya yang sukar diduga,
tapi terasa bagai bisa.
Tempo, 17 November 1973
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar