Kutip

Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. ("Kesatria"; Kompas, 14 Juni 1985)

Ibarat Hewan Apakah Kita Ini?


Orang Jerman itu bak serigala. Beraninya main keroyok. Kalau sendirian, nyalinya kecil. Dan seperti halnya seekor anjng yang pasrah di depan cambuk juragannya sambil mengharap faedah fisik dari sikapnya, begitu pulalah prajurit Jerman terhadap opsirnya. Ini perumpamaan W. Trotter: Instincts of The Herd in Peace and War, 1916. Betul atau tidak, ini penilaian seorang Inggris. Sedangkan buat dirinya sendiri, orang Inggris melantik singa sebagai simbol nasionalnya Singa itu, kata banyak orang, lebih perkasa daripada monyet, kambing, ular, bahkan harimau sekalipun.

Namun, penulis non-Inggris G.J. Renier: The English, Are They Human? (1931) punya penglihatan lain. Mungkin benar orang Inggris itu garang di negeri-negeri jajahan, tapi tidak di kampung halaman. Di sini, mereka cenderung menganggap makhluk hewan itu seperti sanak saudara, bahkan memiliki hak yang lebih spesial ketimbang awak sendiri. Negeri itu punya rupa-rupa ormas yang menghambakan dirinya bagi kemaslahatan binatang. Ada The Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals, ada Our Dumb Friends League, ada The Nation Equine Defence League, malahan ada pula The Council of Justice to Animal, semacam LBH spesial buat kepentingan makhluk-makhluk dungu itu. Dan buat kehidupan anjing, ada perhatian ekstra. Kumpulan-kumpulan seperti The Select Society of Ye Yolly Old Dogs, The Pit Ponies Protection Society, The Performing and Captive Animals Defense League, dan masih banyak lagi tersedia serupa itu. Pendek kata, para anjing baik yang masih remaja maupun yang sudah jompo tak boleh disia-sia, tak boleh tuna-urus. Dilihat dari sudut ini, dilihat dari betapa gembrotnya kucing-kucing dan burung-burung dan anjing-anjing di kawasan itu, jelaslah bangsa Inggris ibarat singa yang sudah terbina. Britania surga bagi binatang. Kucing-kucing Italia yang habis badan bisa gila melihat kucing Inggris yang penuh rawatan. Juga kuda Spanyol yang sempoyongan, jika dibanding kuda Inggris yang lebih kokoh daripada tuannya sendiri.

Cina dimisalkan naga. Entah di mana bisa berjumpa hewan ini. Sungguh perlambang yang menakutkan, sampai-sampai buku “The Dragon Seed” melanjutkan rasa cemas itu ke alamat Hoakiaw yang bertebaran di pulau-pulau belahan selatan. Tetapi, lambang naga ini rupanya bisa ditawar. Sebab, ada pula yang menyebutnya “the blue ants” : 800 juta menyemut dengan seragam periode Yenan berwarna biru.

Nah, bagaimana pula dengan bangsa kita, bangsa Indonesia ini? Seumpama hewan apakah dia? Dari sudut beranak pinak, lazim diumpamakan marmut, walau sebenarnya babi lebih gawat angka kelahirannya. Dari sudut kepatuhannya yang serampangan, dia diibaratkan bebek walau tidak selamanya bebek itu mengandung perlambang buruk. Kalimat Ki dalang “bebek pulang sore ke kandang sendiri” bukanlah pertanda tolol, melainkan isyarat masyarakat makmur adanya.

UUD tak menyinggung-nyinggung nama hewan sepatah pun. Tidak garuda, dan tidak pula banteng. Oleh ketentuan sesudahnya, simbol hewan itu memiliki sifat resmi. Garuda, kata Yamin almarhum “sebenarnya lambang pembangun dan pemelihara”. Katanya pula, kitab Morawangsa dari kerajaan Kedah dan kerajaan Merina di Madagaskar memandang hewan ini lambang pemelihara. Lantas bagaimana dengan hewan banteng? Secara resmi, dia bukan perlambang bangsa seperti singa Inggris atau naga Cina, melainkan lambang demokrasi, atau persisnya “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sedangkan lambang kenasionalan, atau persisnya Persatuan Indonesia, bukannya hewan, melainkan sejenis pohonan : beringin.

Kemudian, ada tafsiran yang kurang begitu resmi, namun pernah amat berpengaruh : banteng lambang semangat bangsa. Sabar, tak banyak cingcong, tapi bila diganggu bisa jadi berang dan pengamuk. Versi tafsiran ini sudah semakin tak kedengaran. Akibat perubahan struktur politik di masyarakat manusia, arti penting hewan banteng selaku lambang semangat menjadi berantakan. Konsekuensinya pun tera di lain sektor : empat patung banteng dalam posisi siap nyeruduk yang mulanya berdiri di tiap sudut Monumen Nasional pada suatu hari digotong orang tanpa bilang ba atau bu. Hotel Banteng yang belum kunjung selesai diganti nama Hotel Borobudur, juga yang belum jadi. Hanya kondektur bus kota Jakarta yang masih kerap meneriakkan nama itu, bukan lantaran gejolak rasa kebangsaan  atau semacam itu, melainkan semata-mata karena nama terminalnya begitu. Selebihnya tak ada.

Memang rada kikuk di zaman harus realis dan pragmatis ini kita masih menyama-nyamakan diri dengan tabiat hewan. Tak peduli chimpanse sekalipun, rata-rata binatang sukar diharap realis dan pragmatis. Makin lama “ethology” tidak bicara apa-apa. Yang perlu sekarang tampaknya jadi innovator, atau kalau nasib baik jadi entrepreneur, bukannya menjunjung derajat hewan di atas kepala. Toh orang Jepang yang maju itu tidak punya hewan simbol sama sekali, malahan dia sendiri dijuluki orang “binatang-ekonomi” : selalu siap mengendus, mengais, dan mematuk.

Berhenti menobatkan hewan sebagai simbol bukan berarti manusia sekarang bersikap konfrontatif dengannya. Malah kebalikannya. Di tengah hiruk-pikuk teknologi, para konservis, para naturalis, para antipolusi, seperti setengah gila meneriakkan perlunya perlindungan bagi maslahat kehidupan hewan. Dan supaya tidak kelaparan, manusia bersepakat sesamanya untuk menyetop kalahiran, tapi tak seorang pun berhasrat menerapkan Keluarga Berencana di dunia binatang, Kondomisasi tak berlaku buat mereka. Leluasa beranak cucu.

Apabila lapisan atas dewasa ini senang kuda, pastilah tak punya latar belakang rohaninya sama sekali. Atau karena hobby, atau mata pencaharian, atau (kalau memang kuda jempolan) semacam standar sosial. Begitu pula halnya ayam negeri; hewan petelur ini sama sekali tak ada sangkut paut dengan simbol semangat bangsa atau perorangan, melainkan punya daya tarik ekonomi buat orang-orang bebas tugas yang sedikit bingung, atau guna menumbuhkan produsen baru di kalangan pesantren, seperti yang dilakukan Menteri Agama Mukti Ali. Walaupun banyak hewan-hewan piaraan itu kena sembelih bulan Maulud yang lalu, rasanya gairah produktif akan terus timbul, andaikata ada dropping “starte” lagi. Kalau “starte” berabe, “grower” pun jadilah. Malah mendingan, tidak terlampau bikin repot para santri.

Tempo, 9 Juni 1973


Melanggan artikel lewat email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar