Ibarat
daerah yang tertimpa planologi sehingga perumahan di atasnya perlu dipindah ke
perkaplingan baru, begitulah layaknya keadaan Parpol akhir-akhir ini. Supaya
tidak salah paham, rencana pengaplingan Parpol-parpol itu bukan baru muncul
sekarang, lagi pula bukan rencana yang disembunyikan. Terhitung sejak Bung
Karno berhasrat membubarkan Parpol-parpol, sejak saat itu Parpol kehilangan
masa nyamannya, untuk mulai menjalani hidup yang kaget-kaget. Akibatnya, jadi
gugup, latah atau maniak.
Di
mana pun juga, Parpol itu bukan kumpulan orang tolol semua. Semisal perusahaan
cari kekuasaan, atas nama ideologi atau yang sebangsa dengan itu, Parpol
diayomi direktur-direktur yang kuat syaraf dan punya bakat memimpin seolah
dibawa sejak rahim ibu, lagi pula tajam
penciuman. Organisasinya dibagi atas provinsi, sama saja dengan tentara,
kecuali tak punya asrama. Mereka kadang bergaul rapat dengan pemerintah, malah
menjadi bagian daripadanya, kadang di luar sama sekali, menjadi kumpulan
orang-orang pemarah dan was-was. Semuanya ini tergantung dari keperluan. Tak
usah diingkari, beberapa dari pimpinannya menjelma jadi genius di dalam hal
menstimulir naluri-naluri primitif publik, sehingga bisa menjadi kesetanan
layaknya, dan ujung-ujungnya mampu melahirkan keajaiban kekuasaan politik,
entah di gedung pemerintah atau Dewan Perwakilan. Itulah sport nasional mereka.
Sebaliknya,
eksekutif pun lebih-lebih lagi tidak bodoh. Mereka umumnya arif betul apa arti
kekuasaan, dan cara bagaimana supaya tahan lama. Seperti halnya makanan kaleng
lebih awet daripada makanan bungkus, segala usaha pengawetan ditinjau dan
dicoba. Orang-orang eksekutif ini tahu, seperti rumusan Clinton Rossiter, bahwa
Parpol punya dalih untuk mengontrol dan mengarahkan percaturan cari kekuasaan.
Maka orang-orang eksekutif menyimpan pula kegemaran sport untuk jaga kondisi
badan, dengan cara bergegas menyempitkan ruang langkah Parpol.
Supaya
tidak ngelantur, baiklah diingat saja dulu Tap no. XXII/MPRS/1996, sebuah Tap
yang pasti paling pendek di dunia, karena terdiri cuma satu pasal, yang
bunyinya: Pemerintah bersama-sama DPRGR segera membuat undang-undang yang mengatur
Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan, yang menuju pada penyederhanaan.
Apa
itu “penyederhanaan”? Bisa rupa-rupa tafsiran. Yang tangannya sudah gatal,
mungkin berpikiran bubarkan saja habis perkara. Yang alon-alon asal kelakon,
fusi saja. Yang separo mau separo tidak, federasi sajalah. Sepanjang ingatan
saya, satu-satunya Parpol yang belum apa-apa sudah mau bubarkan diri adalah
Katolik. Dengan catatan, kalau Parpol-parpol lain berbarengan berbuat serupa.
Hal ini mengingatkan saya akan cerita orang yang rela gantung diri, asal saja
semua tetangganya begitu juga. Mana bisa didapat tetangga semacam itu.
Dari
kepala siapa mula-mula keluar rencana “penyederhanaan” itu tidak jelas lagi.
Dan itu tidak penting. Yang dipersoalkan, dalam bentuk bagaimana “penyederhanaan”
itu harus dijelmakan. Dapat dipahami, eksekutif tak pernah ayal dalam urusan
ini. Jauh-jauh hari Presiden Soeharto sudah membayangkan bahwa kelak kemudian
hari, tatkala penduduk dewasa menyelinap di gubuk kotak suara pada pemilu
berikut, maka cuma 3 tanda gambar yang bisa dicoblos. Tidak empat atau berapa
saja. Artinya, Parpol yang 9 sekarang ini mesti diringkas jadi dua gabungan.
Difusikan, begitulah kata Mendagri Amirmachmud.
Sebutan
“fusi” ini sedikit menimbulkan keributan, karena ada yang berpandangan bahwa
itu bukannya penjelasan resmi dari Tap MPRS. Mungkin benar itu kemauan
Presiden, tapi itu Presiden. Dan Presiden bukan undang-undang. Sedangkan,
undang-undangnya belum lagi disahkan DPR. Kalau sudah, baru jelas bagaimana
cara “penyederhanaan” itu berjalan. Apa melalui penurunan kualitatif: disunat,
dikebiri, didevaluir. Yang kelihatannya ingin tetap utuh, artinya tidak akan
menjadi sederhana sama sekali, cuma Golkar. Keinginan ini tidak sulit dicapai,
cukup kalau semua telunjuk kelompok Karya Pembangunan di DPR diacungkan ke
langit. Undang-undang yang bagaimana saja bisa jadi. Karena itu, tak usah
taajub kalau Mendagri Amirmachmud menjamin segala sesuatunya akan
konstitusional, tidak main paksa.
Sebenarnya,
kalangan DPR sudah menyederhanakan dirinya sendiri tanpa menunggu
undang-undang, dengan cara melenyapkan arti formal Fraksi sambil membentuk
kelompok-kelompok. Katakanlah ini sekedar alasan praktis saja, tapi kalau
dipikir-pikir, mengingatkan saya akan bait nyanyian Ambon “belum ditanya sudah mau”.
Mereka sudah mengatur letak dirinya begitu rupa rapinya, sejauh sebelum
Undang-undang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan dibicarakan, apalagi
disahkan.
Di
luar gedung DPR, Parpol-parpol Islam membentuk federasi. Entah ini federasi
yang keberapa, tapi yang satu ini tampaknya akan digunakan sebagai proyek
percontohan, etalase benda-benda politik, beginilah sebaiknya wujud
“penyederhanaan” itu. Dianggap lebih baik daripada Parpol-parpol Islam itu
dikeluarkan dari botolnya masing-masing dan dituang ke dalam ember besar:
strukturnya bisa sederhana, tapi buntutnya bisa tidak karu-karuan.
Apa
pun jadinya, mesin politik baru sedang digerakkan. Kalau di AS “politik baru”
lazim dimaksud tergesernya peranan aparat partai dalam kampanye oleh peranan
radio dan televise (dimulai dari Roosevelt dan mencapai puncaknya pada Nixon
yang menghabiskan biaya advertensi televisi $12.129.082, hampir mendekati biaya
advertensi pabrik bir), di negeri ini akan dijelmakan dalam bentuk pengaplingan
Parpol-parpol. Dalam rangka pengaplingan ini sudah dipikirkan juga batas-batas
pekarangannya, yang cukup sempit dan terbatas, atau sonder pekarangan sama
sekali. Lazimnya dikenal dengan istilah “floating-mass”.
Sesudahnya
pengaplingan, apa yang terjadi? Hanya Tuhan yang tahu. Mungkin dilakukan
pembagian kekuatan untuk mereka, mungkin tidak. Konstitusi tak bicara apa-apa,
dan gelagatnya Konstitusi sekarang ini jalan terus. Jadikan mereka ibarat “Permissive
Society”-nya John Selwyn Gummer, bagian masyarakat yang ada dalam daftar
tapi tak ikut bergiat apa-apa, kecuali terlibat perihal tetek-bengek aborsi,
rajasinga, murtad dan kekerasan? Mana pula saya tahu.
Akhirnya
timbul pertanyaan detail: bagaimana kaum pedagang, birokrat, seniman, jurnalis,
tentara, cerdik-pandai, dan rupa-rupa kalangan lain yang nonpolitik,
nonideologik, non-segala macam? Kenakah mereka bongkaran “jalur hijau” dari
planologi yang menggetarkan itu? Sebagian mungkin tidak, karena atas petunjuk
nasib kebetulan sudah mapan di jalan-jalan protokol. Selebihnya saya kurang
tahu, karena bagi mereka belum ada aturannya.
Tempo, 22 April 1972
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar