JABATAN seseorang tidak ada sangkut
pautnya dengan wajah dan postur. Kennedy dengan sisiran rambut yang
mengingatkan orang pada pemain band juga bisa jadi presiden AS. Nikita
Khruschev yang tambun dan berkepala bundar, sepintas lalu kelihatan seperti
petani gandum Ukraina, juga bisa jadi perdana menteri Uni Sovyet yang brilian
dan masyhur. Humornya tinggi, humor petani Rus. Bung Karno yang pancaran
pandang juga bisa jadi binar sehingga sulit orang mengadu pandang, juga bisa
menjadi presiden. Sebaliknya, Ho Chi Minh yang bermata sayu dan mirip seorang
pensiunan kepala sekolah dasar, ternyata sanggup membabat habis pasukan
Perancis di Dien Bien Phu dan pasukan AS, juga bisa jadi kepala negara Vietnam.
Mao Zedong yang tinggi besar dan berwajah dingin bagaikan patung lilin, toh
mampu menggerakkan revolusi besar dan menghalau pasukan Chiang Kei Shek hingga
hengkang ke Taiwan.
Jawaharlal Nehru memang ganteng semampai
serta senantiasa menyelipkan sekuntum mawar merah di bajunya, tapi penggantinya
Lal Bahadur Shastri berperawakan kecil dan mirip seorang kasir toko kelontong,
toh bisa juga jadi perdana menteri. Jamal Abdul Nasser yang raksasa, jari
jemarinya saja sebesar pisang ambon, toh akhirnya digantikan oleh seorang Anwar
Sadat yang agak keling diukur dari warna orang Mesir, seorang yang kalah jauh
dibanding postur Jamal yang perkasa.
Atau Sihanouk. Orang yang pendek
bersuara nyaring seperti lazimnya seorang makelar itu toh bisa jadi orang
menentukan di Kamboja. Orang pernah tanya, kenapa sih Sihanouk ngomongnya
senantiasa nyaring dan nyerocos seperti ada yang loncer? Istrinya Monica
menjawab: “Kamboja itu lengang, penduduknya cuma enam juta. Karenanya Sihanouk,
mesti nyaring suaranya, kalau tidak negeri akan sunyi senyap.”
Chou En Lai tergolong perdana menteri
dan menteri luar negeri yang ganteng, beralis tebal dan berair muka merah
jambu. Memancarkan intelegensi tinggi. Tapi, penggantinya Menteri Luar Negeri
Chen Yi, orang kebalikannya, bermuka Cina kebanyakan, bahkan sepintas lalu
tampak seperti seorang jagal babi karena suka angkat kaki di kursi dan hanya
memakai singlet.
AMBILLAH contoh di negeri awak. Idham
Chalid itu, siapa tidak kenal dia? Perawakannya tipis, tak ubahnya dengan
umumnya pedagang batu permata dari Banjar. Tapi, dialah orang yang pegang rekor
paling lama menduduki kursi kekuasaan politik negeri ini sejak tahun 1956, dan
paling lama pula menjabat pimpinan NU. Dari wajah dan posturnya, Abdurrahman
Wahid merupakan kebalikan yang mencolok. Orang yang disebut belakangan ini
bertubuh gempal, ibarat jambu kelutuk yang ranum, berkaca mata tebal, bisa
tidur dimana saja, toh bisa sama-sama jadi ketua NU. Idham Chalid memiliki
kelincahan logika yang tinggi, dan Abdurrahman Wahid punya kebolehan humor yang
mengejutkan, seakan-akan dia jambret begitu saja dari laci.
Ambillah contoh John Naro. Pria perlente
yang partainya digembosi orang hingga separuh, yang tidak segan-segan tarik
suara di restoran karena suaranya memang tenor, yang mencium tangan nyonya Mien
Sugandhi di muka umum sebagaimana layaknya pria Perancis, toh punya keberanian
luar biasa untuk mencalonkan diri jadi wakil presiden Republik yang besar ini.
Ambillah contoh Ajip Rosidi yang kini
sudah menginjak umur 50 tahun. Dilihat dari potongan luarnya, lelaki asal
Jatiwangi yang tak kenal sisir seumur hidupnya dan selalu membiarkan kemeja
menjurai ke luar, dan kemana-mana bersandal itu, ternyata seorang yang alim dan
produktif dan seorang kakek yang telaten. Jika anak muda bertemu dengannya di
jalan, pasti dianggapnya seorang petani yang lagi coba-coba urbanisasi ke kota.
Atau, ambillah seniman lain Totok
Sudharto Bachtiar yang sajak-sajaknya biasa dikaji anak-anak-anak sekolah
menengah. Orang ini jadi hitam legam, habis terbakar mentari karena jadi
pelatih tenis, tidak ada urusan dengan sajak lagi, akibat dunia sekarang tidak
memerlukan penyair melainkan pemborong, sehingga para penyair jadi terlempar ke
alam dongeng. Penyair yang biasa dikesankan seorang kerempeng yang kurang tidur
dan kurang makan, sekarang tampil sebagai seorang kekar dan pontang-panting
mengejar bola, dan peroleh bayaran darinya.
DI dunia tentara pun terjadi hal yang
menarik. Jika Pangab Benny Murdani punya sosok tubuh yang seram dan kebanyakan
merengut, sebaliknya Pangab Try Sutrisno yang berair muka seorang ustad dan
seakan dia itu kelihatan senantiasa seperti orang baru keluar dari salon.
Murdani menunjukkan seorang tentara yang keras, Try tampak bagai seorang pria
yang sejuk dipandang.
Pada saat majalah Tempo berulang tahun di Hotel Sahid tahun lampau, diadakanlah
diskusi yang menampilkan Benny Murdani sebagai pembicara utama dengan moderator
Fikri Djufri. Macam-macamlah persoalan yang diajukan wartawan, menyangkut
kebebasan pers, masalah tanggung jawabnya terhadap kestabilan, dan hal-hal
semacam itu.
Tapi, ada pertanyaan aneh yang
menyimpang. Pertanyaan ini datangnya dari wartawan, Aristides Kattoppo. Dengan
enak dia bertanya sesudah terlebih dulu minta maaf: “Kenapa sih Benny jarang
ketawa dan senantiasa cemberut?”
Benny yang menjawab dengan contoh:
“Menurut kepercayaan Cina, saya ini dilahirkan dalam “tahun monyet”.
Saudara-saudara tahu kan monyet itu, antara ketawa dan merengut tidak ada
bedanya.” Para hadirin tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban yang jitu dan
bagus itu.
(Asal Usul; Kompas, 20 Maret 1988)
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar