SEORANG nyonya beratnya 58 kg 6 ons. Ia ingin
tetap seberat itu kalau bisa hingga meninggal dunia. Tiap menghadapi meja makan
ia teliti dengan matanya yang bundar, piring demi piring, agar jangan ikut
tersuap makanan yang bisa bikin gemuk, persis seperti arkeolog memeriksa
tengkorak. Tiap pagi dan sore nyonya berjingkrak-jingkrak, menggelepar-gelepar,
rebah dan bangun serta berguling-guling, menjaga kondisi badan. Ini artinya nyonya
menjaga status quo pada berat 58 kg 6
ons, tidak lebih dan tidak kurang. Dan karena kondisi badan bukan cuma ditentukan
oleh makanan melainkan pikiran, nyonya tidak sudi diganggu dengan beban pikiran
yang tidak perlu. Itu sebabnya ia mengambil sikap liberal dalam keluarga,
artinya tidak ambil pusing berapa kali suaminya seminat atau rapat kerja dalam
seminggu, walau di hatinya bertanya-tanya, buat apa sebetulnya rapat sesering
itu. Maka dari itu, nyonya sehat bagaikan seekor ikan bandeng.
Seorang lurah juga menginginkan adanya status quo di daerahnya agar senantiasa
tenteram dan tenang, tiada riak apalagi gelombang, seperti halnya sebuah
akuarium. Satu-satunya cara untuk menghasilkan suasana status quo seperti itu adalah berusaha agar semua orang punya
pendapat seragam dengan pendapatnya, semua langkah dan sepak terjang mesti pas
dengan ukuran yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Sekecil apa pun perbedaan
pendapat yang timbul, dianggapnya seperti ada gempa yang bisa mengganggu
kampung. Lurah menjaga kondisi status quo
begitu cermatnya seperti orang menjunjung botol di atas kepala. Begitu sempurnanya
keadaan status quo itu tercipta,
sehingga suasana kampung amat tenteram sehingga dari jarak satu kilometer
kampung itu kelihatannya seperti sedang tertidur baik malam ataupun siang. Menurut
lurah, lebih bagus penduduk kelihatan tertidur daripada berisik. Berhubung penduduk
tidak punya pilihan lain daripada kehidupan yang amat rutin, maka lurah
senantiasa tampak anggun bagaikan seorang dewa format kampung.
SETIAP jenasah mau berangkat dari rumah
duka, wakil keluarga berdiri di ambang pintu beri sambutan. Berterima kasih
kepada para pelayat, minta dimaafkan andaikata yang meninggal ada kesalahan
baik disengaja atau tidak, dan kalau ada baik utang atau piutang dari almarhum,
harap berhubungan dengna ahli waris untuk diselesaikan sebagaimana mestinya. Sesudah
itu jenasah diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir diiringi sedu
sedan dan deraian air mata.
Ke tempat peristirahatan terakhir? Itu dulu.
Sekarang bisa saja peristirahatan itu bukanlah yang terakhir. Kuburan tidak
bisa lagi dianggap status quo tanpa
batas. Sebab, ada kuburan yang harus dibongkar dan dipindahkan karena tempatnya
buat rumah susun, seperti terjadi di Karet, Jakarta. Tulang-tulang mayat yang
sudah berdiam di sana puluhan tahun dibungkus rapi dan dibawa pindah ke wilayah
pekuburan lain, misalnya di Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Apakah ini juga
tempat peristirahatan terakhir? Belum tentu. Sebab, ada makam famili saya
pindahan dari kuburan Karet, mesti pindah lagi ke tempat lain karena akan
dijadikan jalan intern. Ini berarti, hukum kedinamisan dan mobilitas juga masih
berlaku buat orang yang sudah meninggal dunia. Kondisi status quo bagi si jenasah masih bisa ditinjau sewaktu-waktu. Mengapa
bisa begitu? Hanya gubernur atau wali kota dan dinas pemakaman saja yang mampu
menafsirkan bagaimana mestinya “tempat peristirahatan terakhir” itu, tanpa
harus pindah kian-kemari.
BERBEDA dengan manusia (walau sudah jadi
jenasah) yang masih terbuka untuk penggusuran, tidak demikian halnya dengan
binatang. Keadaan lebih mapan dan terjamin. Misalnya, menteri Emil Salim
menginginkan agar kita bangsa manusia menaruh kasih dan sayang kepada binatang,
karena itu kebun binatang harus diperlihara status
quo-nya, jangan dihalau untuk keperluan lain. Dekat jauhnya kalbu manusia
dengan binatang merupakan tolok ukur tinggi rendahnya kebudayaan. Makin bagus
perikebinatangan seseorang, makin tinggi perikemanusiaannya. Bila seseorang
menggebuki orang hingga terampun-ampun, boleh jadi tidak jadi pembicaraan umum.
Tapi bila ia menghajar seekor anjing hingga terkaing-kaing, maka orang
menganggapnya biadab. Menggebuki orang bisa disandarkan rupa-rupa dalih, hal
yang tak bisa dilakukan terhadap seekor anjing.
Semua koruptor adalah bangsat sosial,
tapi koruptor yang memelihara enam ekor kucing ras dan sepuluh ekor kuda masih
lebih bagus ketimbang koruptor yang tidak memelihara apa-apa kecuali memperkuda
penduduk sekampung. Seorang manusia bisa saja keluyuran tanpa tempat berteduh
dan orang lain pun, tapi hal demikian tak bisa terjadi pada seekor gajah atau
monyet. Memang, keharusan melindungi gajah atau monyet tidak tercantum di dalam
konstitusi, berbeda misalnya dengna fakir miskin, tapi dalam praktek justru
binatang itu lebih mendapat perhatian yang memadai. Manusia tanpa rumah
dianggap biasa-biasa, tapi gajah tanpa hutan dianggap luar biasa.
Pandangan status quo atas kebun binatang ini membuat Indonesia sedikit lebih
maju, mendekati Inggris yang (walau buruk selaku kolonial) menaruh rasa sayang
yang tinggi kepada binatang, sehingga kucing Itali atau angsa Perancis yang dianggap
tolol itu layak merasa iri dengan teman sebangsanya di Inggris. Bukankah orang
Inggris tidak merasa kikuk dan rendah diri makan semeja dan tidur sebantal dengan
binatang kesayangannya, seakan-akan binatang itu saudara sepupunya sendiri? Berbeda
jika perbuatan itu dilakukan terhadap manusia yang berbeda kulit.
Tapi, biarpun orang Inggris amat kasih
kepada binatang, bukan berarti binatang tidak menaruh dendam kepada mereka. Binatang-binatang
itu menganggap, di balik sayang terselip maksud perbudakan. Karena itu, atas
hasutan binatang babi, para binatang pada suatu saat bisa tergugah lewat
semboyan “Seluruh binatang Inggris, bersatulah!”, dan menumbangkan kekuasaan
manusia serta mendirikan “Republik Binatang”. Akan tetapi, sesudah penumbangan
kekuasaan manusia itu, binatang babi malah angsur-berangsur menjadi otoriter
dan memerintah sesama binatang lebih keras dan tidak demokratis dibanding manusia
sendiri. Begitulah menurut cerita fiktif Binatangisme
atau Animal Farm karya George Orwell,
seorang wartawan dan satiris, yang juga menulis buku 1984 yang terkenal di dunia.
(Asal Usul; Kompas, 16 Agustus 1987)
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar