SAM WOLINSKY sudah berusia 17 tahun. Ia
sudah mulai bercukur. Dan jatuh cinta. Ia kepingin melakukan sesuatu, tak
kecuali kekerasan. Sam merasa paling jago di dunia. mati baginya soal sepele.
Ketika ia jalan-jalan di Ventura Avenue, semua yang ada di bawah telapak
kakinya kecil belaka, sebab ia merasa kelewat besar. Sam kepingin jadi keras,
kejam, kalau perlu penghancur. Ia mengejek sifat kelembutan manusia. Tak ada
yang suci di atas bumi ini. Gobloklah orang yang nafsunya lemah. Tolollah orang
yang punya rasa malu.
Sam jatuh cinta, tapi sang gadis tidak
ada. Maka ia jadi sedikit gila, meninju dinding hingga tangannya bengkak dan
berdarah. Tapi ia tidak malu. Ia kelewat besar. Ia kelewat istimewa. Yang
ditinjunya itu barangkali manusia, dan barangkali kehidupan. Sam terus
melangkah menertawakan rasa sakitnya. Dan ia berkelahi dengan anak-anak
lainnya, tak peduli betapapun besar badannya. Bukankah kekuatannya mesti
berfungsi? Dua kali hidungnya remuk, tapi ia tak peduli.
Minggu
malam bulan September, ia tetap jatuh cinta dan tetap tidak ada gadis. Sam
menuju rumah di pojok jalan F. Rumah itu penuh asap. Ada pot bunga mawar di
tingkat duanya. Seperti seekor anjing ia berputar-putar dan naik ke sana. Ia
melirik ke sekitar. Tak ada kehebatan. Tak ada kekuatan. Semuanya biasa-biasa
saja. Tangganya biasa. Pintunya biasa. Tak tampak kebejatan yang dahsyat. Tak
ada kebengisan yang patut ditundukkan. Ia ingin punya lawan, tapi tak ada lawan
setimpal. Yang tampak cuma dekil, kelemahan, harga murah. Tak diperlukan tinju
sama sekali.
Sam Wolinsky baru memutar badan mau pergi
ketika seorang wanita umur 50 tahun menegurnya. Aku perlu, kata Sam. Mari ikut
aku, manis, kata wanita itu. Akan kuberikan seorang gadis, kata wanita itu. Dan
sejam kemudian, Sam tidak lagi jadi remaja istimewa. kekuatannya sirna. ia tak
bisa lagi menertawakan apa pun. Ia menjadi teramat buruk. Sam berjalan pulang
bagaikan selembar kertas. Ia duduk di kamarnya tanpa bisa berpikir apa-apa.
Harganya jatuh dan tinjunya tidak ada. Ia menangis. Sang ibu bergegas menemui
suaminya. "Tengok, papa. Sammy lagi menangis. Ia menangis seperti bayi,
papa." Begitulah yang dapat terbaca dalam cerpennya William Saroyan.
Kemudian, Robert F. Kennedy tewas. Sang
adik Edward M. Kennedy mengucapkan pidato eulogy di makam. Edward mengungkapkan
bunyi surat Robert kepada ayahnya. Apa yang kita perlukan adalah cinta kasih
sayang. Bukannya cinta seperti kata majalah-majalah, melainkan cinta yang tak
mementingkan diri sendiri, yang berkaitan dengan memberi dan pengorbanan. Cinta
yang mendorong semangat dan mengandung dorongan untuk maju.
Kemudian kata Robert dalam surat kepada
ayahnya di atas semua itu amatlah penting punya kesadaran sosial. Kelewat
banyak mereka yang bersalah yang memerlukan perhatian. Kelewat banyak mereka
yang miskin yang membutuhkan bantuan. Inilah tanggung jawab kita kepada mereka
dan kepada tanah air. Sesudah mengungkapkan bunyi surat itu, sang adik Edward
menutup pidato eulogynya: "Nilailah abang saya apa adanya. Ia sekadar
orang baik dan berbudaya. Ia hanya melihat kesalahan-kesalahan dan mencoba
meluruskannya. Ia melihat penderitaan dan mencoba menyetopnya. Itu saja."
Yang paling bagus memang bila semua orang
berbuat benar tanpa cacat. Tapi itu sulit. Sifat lupa, sifat khilaf, sifat keliru,
sudah menjadi pakaian. Ini gendangnya lagu hidup. memahami kesalahan langkah
meluruskannya, lebih penting daripada melihat kesalahan itu barang mustahil.
Kesalahan bukan mustahil, seperti halnya kebenaran mutlak manusia barang
mustahil.
(Majalah Tempo,
12 Februari 1983)
Video - YouTube, Videoslution, Sushi, Sports, Casino,
BalasHapusVideo - YouTube, Videoslution, Sushi, Sports, Casino, Video, Sushi, Sports, Casino, download youtube videos Video, Sushi, Casino, Video, Sushi, Casino, Video, Sushi, Casino, Video, Sushi, Casino, Video, Sushi,