DI RT saya ada gadis bernama Sri Lestari.
Sebuah nama yang cantik. Orangnya sendiri memikat, karena hidungnya bangir, dan
bibirnya seperti baru saja diolesi mentega. Saya tidak tahu persis asal-usulnya
sehingga dia diberi nama seperti itu. Yang jelas, Sri Lestari itu sama sekali
tidak bisa dianggap “lestari”. Apanya yang lestari? Pacarnya saja tidak
lestari. Dalam dua tahun belakangan ini tidak kurang dari 4 kali berganti
pacar. Berarti, seorang pacar untuk satu semester. Fakta ini mengakibatkan
opini gadis-gadis sebayanya terpecah-pecah. Ada yang kagum. Ada yang iri. Ada
yang mencibirkan bibir. Dan ada pula yang menganggapnya “subversif”.
“Kamu jangan menyalahkan Sri Lestari
saja, dong,” kata seorang.
“Habis, mesti salahnya siapa? Apa mesti
salahkan Pak RT?” jawab lainnya.
“Lelaki juga tolol. Mesti cari input dulu dong. Zaman “revolusi
komunikasi” kok masih saja salah simpul dan salah pilih. Apa tidak dengar reputasi Sri Lestari seperti itu? Kok masih nekat
pilih dia? Bukankah di negeri in ada 50 juta gadis seumurnya? Apa bakal mati
kalau tidak pilih Sri Lestari?”
“Lelakinya juga tolol. Mesti cari input dulu dong. Zaman “revolusi
komunikasi” kok masih saja salah simpul dan salah pilih. Apa tidak dengar
reputasi Sri Lestari seperti itu? Kok masih nekat pilih dia? Bukankan di negeri
ini ada 50 juta gadis seumurnya? Apa bakal mati kalau tidak pilih Sri Lestari?”
Itu tadi tentang pacar. Tentang binatang
kesayangan pun Sri Lestari tidak punya selera yang lestari. Bulan ini dia
senang kucing, bulan lain dia gemar mengelus-elus punggung kambing. Bulan
Januari dia tergila-gila burung kutilang, bulan April dia mengagumi burung
parkit yang cerewetnya bukan alang-kepalang. Sedangkan bulan Desember bukan
jenis burung lagi kesukaannya, melainkan ikan. Sri Lestari memelihara ikan
Nirwana, atau ikan naga, atau apa pun namanya, pokoknya ikan berharga amat
mahal yang siripnya gemerlapan, mukanya buruk seperti anjing, namun konon bisa
mengundang banyak rezeki, suatu kepercayaan omong-kosong besar yang tak pernah
terbukti.
Akibat nama Sri Lestari yang sama sekali
tidak ada sangkut-pautnya dengan sifat lestar itu, saya pun mulai bimbang, apa
betul ada sesuatu yang bisa lestari di atas dunia ini. Bukankah sesuatu itu
senantiasa berubah-ubah? Bukankah perubahan itu memang obyektif perlu>
bukankah yang permanen, yang abadi, adalah proses perubahan itu sendiri? Kenapa
sih orang kok suka benar sama lestari-lestarian? Jika ular saja bisa berganti
kulit, mengapa keadaan mesti lestari, mesti permanen?
“Ah, segala sesuatu itu tentu ada kecualinya
dong. Dari sejuta kerbau, pasti saja ada seekor yang bule,” kata kawan saya.
“Apa maksudmu?”
“Maksudku ada juga yang punya sifat
lestari itu.”
“Misalnya?”
“Misalnya makanan di dalam restoran
kereta api.”
Maka berpidatolah kawan saya itu ikhwal
kereta api. Berhubung di negeri ini kendaraan beroda besi itu monopoli
pemerintah, maka kita sebagai penduduk tidak punya pilihan lain. Suka atau
tidak suka, kita mesti naik kereta api itu. Bersih atau kotor, kita mesti telan
dengan pasrah. Bahkan terlambat atau tak kebagian tempat duduk pun kita mesti
tersenyum saja. Persis seperti nasib, kita tidak punya pilihan lain. Berhubung
kita sudah jadi warga negara ini, maka kita pun mesti naik kereta api yang satu
itu, habis perkara. “Lantas yang kau maksd lestari-lestari itu apa?” tanyaku.
“Bukankah sudah kubilang makanan di
restorasinya? Baik jenis maupun rasa masakan di restorasi kereta api itu tidak
pernah berubah sepanjang zaman. Sedikit pun tidak. Dari tahun ke tahun.
Seakan-akan sudah menjadi hukum alam. Lestari dalam arti makna yang
sebenar-benarnya lestari. Aku tidak tahu apakah memang sengaja dilestarikan,
pokoknya lestari. Ibarat matahari terbit di timur dan tenggelam di barat,
begitu pula halnya yang terjadi di restorasi kereta api. Tampaknya di situ berlaku
hukum besi.”
“Bisa beri penjelasan detil?”
“Mengapa tidak. Lihat saja nasi
gorengnya. Apa yang dimakan nenekmu dulu persis sama dengan rasa nasi goreng
yang kamu makan sekarang ini. Tidak meleset barang sedikit pun. Ada gundukan
nasi, ada sepotong kerupuk dibungkus plastik, ada acar ketimun, dan ada sebutir
cabe rawit, ada telur mata sapi, dan ada sesendok kecil saus tomat.”
“Dan rasanya?” tanyaku.
“Netral. Artinya: tidak pedas, tidak
asin, tidak manis, tidak pahit dan juga tidak gurih. Walhasil, singkat kata
tidak ada rasa apa-apa.”
“Apa maksudmu tidak ada rasa apa-apa?”
“Ya tidak ada rasa apa-apa.” Jawab
kawanku.
“Juga tidak ada nasi goreng?”
“Juga tidak ada nasi goreng.”
“Ya, namanya memang nasi goreng.”
“Kok begitu?”
“Ya begitu. Namanya saja sudah monopoli,”
jawabnya.
“Untuk selamanya begitu?”
“Ya, untuk selamanya. Itu sebabnya
kusebut lestari. Satu-satunya yang lestari di atas bumi ini.”
Agar persahabatan saya tidak rusak, saya
akur saja. Agar supaya kawan saya itu lestari sebagai kawan, saya akur saja.
Jika saya tidak akur, pasti ada keguncangan. Pasti ada gap kata orang. Akur itulah yang paling aman.
(Asal Usul; Kompas, 30 November 1986)
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar