SEMUA makhluk hidup mencintai kotanya.
Tapi saya melebihi semuanya itu. Rasanya saya bersedia berkelahi hingga mati
kalau saja ada yang meremehkannya. Bukan saja kotanya yang kusenangi, melainkan
administratornya. Mereka seakan-akan diturunkan dari langit khusus untuk
merawat kota, tak ada yang lain dari kota. Mereka siap berbuat apa saja untuk
kepentingan kota, bahkan tanpa digaji sekalipun. Hanya karena menolak gaji bisa
diartikan menghina negara, dengan berat hati gaji itu diterima juga. Pegangan
mereka satu-satunya hanyalah rasa ikhlas itu.
“Apakah cukup dengan ikhlas itu?” tanya
saya.
“Lebih dari cukup. Bila kita ikhlas, kita
tak pernah merasa lapar. Bahkan tak memerlukan kendaraan bermotor atau kulkas,”
jawab mereka.
“Masya Allah,” sambut saya. Sungguh
mengharukan.
Ibarat pohon tinggi mesti siap kena pukul
angin, begitu pula para administrator kotaku itu. Rupa-rupa fitnah dan iri
dihamburkan ke muka mereka, yang kalau saja tidak kuat-kuat iman, bisa membikin
mereka semaput. Misalnya, fitnah seakan-akan mereka menuntut uang pelicin jika
mau urusan lekas beres. Misalnya, fitnah seakan-akan kerja mereka tak lain dari
melancarkan rupa-rupa pungutan dan pajak, tanpa sedikit pun memperhatikan
pelayanan publik. Saking banyaknya pungutan pajak ini dan pajak itu,
sampai-sampai ada orang jail yang menyindir: mengapa tidak ditambah saja pajak hujan,
supaya komplet? Suara-suara ini mereka masukkan ke kuping kanan untuk
dikeluarkan di kuping kiri, dan mereka terus bekerja keras sebagaimana
mestinya. Atau seperti kata Ilya Eehrenburg, mereka bekerja seperti bukan
manusia.
BUKAN manusia? Ya. Belum lagi penduduk
bangkit dari tempat tidurnya, petugas-petugas kota sudah sibuk menyapu jalan,
biji sawi pun tiada yang tercecer, sehingga lorong kota gemerlapan seperti
halnya jidat kita. Mereka periksa lubang-lubang yang sekiranya ada terdapat,
buru-buru menambalnya, khawatir kalau-kalau ada warganya bisa tersandung.
Mereka periksa gorong-gorong kalau-kalau tersumbat, walhasil mesti betul-betul
bersih, lebih bersih (kalau bisa) dari lubang hidung warga kota sendiri. Mereka
tanam tiap jengkal tanah pinggir jalan dengan batang-batang pohon hias, begitu
pula menyediakan bibit-bibit yang setiap saat bisa diminta penduduk tanpa bayar
sepeser pun. Mengapa pula mesti bayar? Bukankah pemerintah kota itu bukan
tukang tanaman?
Lebih dari semuanya itu, sikap dan selera
mutakhirnya yang saya anggap luar biasa. Ketika sepuluh tahun yang lalu musim
klab malam, kota saya amatlah responsif. Di hampir tiap gang terdapat
tempat-tempat itu, yang ditandai dengan aneka warna lampu yang tak
henti-hentinya berkedap-kedip. Memang ada mulut iseng yang mengatakan kota saya
kota maksiat, tapi orang-orang macam ini hanyalah mampu melihat kulit tanpa
memahami isinya. Mereka tak mampu berpikir, betapa kota perlu hiburan, seperti
halnya ia perlu makan serta minum. Mereka tak tahu, interaksi positif telah
terjadi: penduduk senang dan kotamadya pun peroleh uang. Perkara akibat
sampingan, orang tidur melulu pun punya akibat sampingan juga, bukan? Sesudah
klab malam kehabisa musim, timbul di mana-mana panti pijat, baik yang
tradisional maupun yang modern. Sepintas lalu memang bisa timbulkan kesan
seakan-akan penduduk kota pegal serta linu sekujur tubuhnya dan memerlukan
perawatan segera sesudah itu. Padahal, masalahnya tidaklah sesederhana itu.
Buat orang yang sudah mendalami duduk perkara, panti pijat tidak selamanya
mesti dikaitkan dengan pegal atau linu. Ada faktor-faktor lain yang lebih luhur
dari itu.
Sesudah itu? Sesudah itu rumah bola
sodok. Di hampir tiap tikungan jalan tersedia belaka tempat itu. bila di zaman
kolonial tempat begituan cuma tersedia khusus untuk opsir-opsir dan tuan tanah
perkebunan yang kebetulan turun ke kota, sesudah kemerdekaan ini setiap orang
boleh saja mendorong-dorong bola hingga masuk lubang sesudah saling saling
bersentuhan sesamanya. Bila tempo dulu permainan umumnya orang pensiunan,
sekarang tidaklah demikian halnya. Sekarang, lelaki tua dan muda bisa
membungkuk dan memicing-micingkan mata seberapa lama mereka suka. Yang belum
kelihatan menggemari permainan ini hanyalah kaum wanita. Apa sebabnya, tidaklah
jelas.
SESUDAH itu? Sesudah itu adalah proyek
perkantoran. Di mana-mana dibangun orang gedung-gedung perkantoran, sehingga
kota saya seakan-akan isinya cuma kantor melulu. Memang kadang-kadang ada juga
pertanyaan, apakah memang urusan sudah begitu banyaknya sehingga diperlukan
kantor-kantor sebanyak itu? Pertanyaan semacam ini pastilah datang dari mulut
mereka yang tak memahami betapa modernisasi itu sejalan dengan mobilitas
administrasi surat menyurat, betapa kemajuan dan dinamika haruslah diukur dari
jumlah kantor, sebab di hutan tidak ada peradaban.
Sesudah itu? Sesudah itu kota saya tak
henti-hentinya membangun proyek toko, baik toko konvensional maupun toko
swalayan, di mana pembeli meraih sendiri barang-barang seakan di rumah oomnya.
Begitu banyaknya toko, seakan lebih banyak toko dari rumah penduduk. Lagi-lagi
orang dangkal pikiran sering bertanya sesamanya, kalau toko dibangun
banyak-banyak, pernahkan dipikirkan, apakah daya beli orang memang sanggup
mengimbanginya? Ah, itu soal lain sama sekali. Itu bukan urusan kotamadya sama
sekali. Sungguh benar, Administrator kota hanya berkewajiban membangun toko,
perkara daya beli menjadi urusan warga sendiri.
Dan sesudah itu? tentu saja menggalakkan
balai-balai kursus komputer. Di mana-mana tampak. Di mana-mana tercium wangi
kecanggihan. Komputer, lambang supremasi. Tanpanya dunia ini bakal berhenti
berputar.
“Di Amerika, karena sudah kebanyakan
orang terpikir menganjurkan KB untuk menghambat komputer. Bagaimana?” tanya
saya.
“Gila itu.” jawab administrator kota dengan
tegas.
(Asal-usul;
Kompas, 23 November 1986)
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar