Lidah
lebih tajam dari pedang. Karena itu jangan omong sembarangan, bikin luka dan
sengsara. Mendingan diam, karena diam itu emas. Sebab, hanya tong kosong yang
nyaring bunyinya. Lagi pula diam itu bukan berarti dungu. Tengoklah perawan
yang lagi dipinang, diam saja tertunduk-tunduk, memilin-milin ujung rambut, itu
artinya dia betul-betul mau.
Ada masa, tidak semua mulut dianggap
jelek. Lihat-lihat mulutnya dulu, tidak bisa pukul rata. Mulut siapa yang jelek?
”Perempuan? Bah. Kalau sebelah kakiku sudah di lubang kubur, barangkali baru
bisa kupercaya omongan mereka itu, yang tak punya bakat seni ataupun politik”,
kata Nietzsche. Untungnya, di negeri kita ini ada bait nyanyian: ”Terang bulan
terang di kali, buaya timbul disangka mati. Jangan percaya mulut lelaki, berani
sumpah takut mati”. Dengan begitu menjadi tidak jelas lagi, siapa sebetulnya
yang lebih lancung.
Tapi, ada masa semua orang tak
kecuali, lelaki atau perempuan, boleh bicara sepuas hati sampai mulut berbusa.
Yang satu lebih keras dari yang lain, seperti lelang ikan. Namanya masa
liberal. Hanya orang-orang bisa dan tuli yang mampu terbebas dari keriuhan ini.
Kalau sekadar mulut berbusa saja, masa bodohlah. Tapi kalau sebentar-sebentar
kabinet terpelanting dari kursinya, tak ubahnya seperti piring-mangkuk, nanti
dulu. Orang toh tidak bisa jadi menteri cuma sebentar.
Maka ada Kabinet Kerja di bawah PM
Djuanda itu, teriring semboyan: ”Sedikit bicara, banyak kerja”. Semua orang
yang bermodal mulut semata-mata menyempit lapangannya. Bursa mulut turun, dan
keringat naik derajat. Kegaduhan sedikit demi sedikit berkurang, orang makin
lama bicara makin pelan, sehingga mau tidak mau coraknya berganti jadi
kasak-kusuk. Padahal, ditilik dari sudut kebajikan, omong besar dan kasak-kusuk
sama-sama bukan tabiat yang layak dipuji, seperti halnya orang kegemukan atau
kekurusasan.
Melihat gelagat ini, semboyan
ditinjau kembali. Bukannya ”Sedikit bicara banyak kerja”, melainkan ”Banyak
bicara banyak kerja”. Akur, kata K.H. Idham Chalid waktu itu. Mengapa? Sebab,
bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja tanpa bicara itu namanya
maling. Perumpamaan ini membuat para pendengar tertawa terpingkal-pingkal, baik
yang merasa dirinya memang beo, atau yang merasa dirinya memang maling.
Di zaman pembangunan seperti
sekarang ini, sudah barang tentu yang pertama-tama harus dilakukan orang adalah
kerja. Kalau semata-mata kerja saja, tanpa bicara sepatah pun, apa ini artinya
seperti maling? Oh tidak, tidak maling. Walau sekarang bicara bukan pekerjaan
terhormat, bukan berarti orang tidak diperkenankan bicara. Cuma namanya yang
ganti, bukan bicara melainkan berdialog, berkomunikasi, berseminar,
bersimposium, berlokakarya, berdiskusi, dan sarasehan. Kesemua ini memang via
mulut juga, tapi lain sedikitlah. Bahkan Parlemen, yang menurut riwatnya justru
tempat bicara, tidaklah gemar lagi membuka mulut selebar-lebarnya, seperti mbah
guru mereka Montesquieu yang meraung-raung di mimbar bagaikan keledai,
melainkan memilih kecermatan di atas segala-galanya.
Kalau toh perlu bicara, harap dengan
data, seperti nona Spanyol dengan kipas dan sinyo Prancis dengan bunga. Orang
zaman sekarang suka angka-angka, makin banyak makin bagus. Pimpinan yang baik
adalah pimpinan yang hafal angka-angka di luar kepala, angka apa saja dan kapan
saja. Misalnya, orang harus bicara seperti ini: Di tahun 2000, pendapatan per
kapita per tahun orang Indonesia yang sekarang Rp 37.350,00 bisa naik jadi Rp
172.750,00. Di tahun 2010 naik jadi 15.000 juta. Cucu dari orang yang hidup
tahun itu bisa menyaksikan orang di dunia 60.000 juta. Dan d tahun 2625, tiap
manusia cuma kebagian tempat berdiri sekaki persegi, tak ubanya seperti kita
naik bus kota sekarang. Itu kata Robert S. McNamara. Itu kalau migrasi tidak
digalakkan, atau KB macet, atau angka kematian tidak dipertinggi, misalnya
lewat perang agar mereka saling tikam sesamanya, atau beri fasilitas orang yang
bermaksud bunuh diri, bagaikan fasilitas Dinas Pariwisata buat kaum turis.
(Majalah Tempo,
5 April 1975)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar