Anak-anak,
kasih unjuk lapor kepada orang tuamu. Bagi yang naik kelas, boleh bersenang
hati. Bagi yang tidak, boleh murung, asal tidak banyak. Ini merupakan pentung
ke kepalamu supaya lain kali belajar lebih baik. sekarang kamu boleh pulang,
sampai ketemu habis lebaran,” kata menir van Daalen seraya mengusap batang
hidupnya, suatu kebiasaan sebagian besar bangsa Belanda yang hidup di bawah
permukaan laut.
Beresoknya,
beduk puasa berdentam-dentam. Lepas sahur, anak-anak senewen itu masuk keluar
kampung menabuh kaleng rombeng, kemudian duduk berjuntai di batang belimbing
hingga lohor, sesudah itu tidur telungkup menekan perut keras-keras ke ubin
langgar hingga hampir maghrib. Jika saat berbuka puasa tiba, mereka nyaris
menelan seluruh isi bumi. Tapi ini tidak berlangsung lama, sembahyang tarawih
shubuh, yang mereka lakukan sambil sekali dua menyikut rusuk temannya.
Dalam
hubungan ini C. Snouk Hurgronje benar : pokoknya jangan sentuh agama Islam,
bisa berabe. Toh kultur Jawa masih kuat, mampu memproduksi penduduk paling taat
kepada atasannya seluruh dunia. jangan main paksa - seperti disaksikan Van der
Plas di Madura tahun 1919 - murid sekolah bolos disuruh bersila di pendapa
asisten Wedana seraya dicoreti punggungnya dengan tulisan “Je Maintiendrai”.
Kapan pun juga main paksa tidak bisa menyelesaikan soal.
Dan
dalam hubungan sentuh agama Islam ini, kolonialisme Belanda pada umumnya cukup
bijak. Buat apa bikin perkara dengan mereka kalau maksud sedalam-dalamnya
adalah soal rezeki, urusan perdagangan, een
mercantile betrekking? Seyogianya menghormati pesantren-pesantren di Jawa
pada umumnya terletak di tengah lautan kebuh tebu agar supaya santri Buntet di
Cirebon atau Tebuireng di Jombang tidak mengobrak-abrik pabrik sambil
menggulung kain sarung hingga lutut. Gula, yang merupakan gabus tempat kerajaan
Belanda mengapung, tidak boleh terancam.
Zaman
berganti, dan kini giliran Kawasaki-san berdiri di depan kelas. “Anak-anak,
kasih unjuk rapor kepada orang tuamu. Bagi yang naik kelas, boleh bersenang
hati. Bagi yang tidak, boleh murung, asal jangan banyak-banyak. Ini merupakan
pentung ke kepalamu supaya lain kali belajar lebih baik. Sekarang kamu boleh
pulang, sampai ketemu habis lebaran.” Sesudah menyanyikan lagu kebangsaan Kimigayo dan Seikerei itu berhamburan ke luar kelas bagai kelereng tumpah dari
dosnya. Seperti biasa, esok hari beduk puasa berdentam-dentam, dan seperti
biasa mereka bergolek-golek di lantai langgar. Satu dua juga yang diam-diam
menggigit mangga muda di belakang kakus.
Dalam
hubungan ini, H.J. Benda dalam ‘The Cresent
and The Rising Sun’ benar: biarpun Bupati Bandung Wiranatakusumah menyimpan
motif tersendiri menggalakkan Baitul Mal di beberapa keresidenan Jawa Barat,
pemerintah Dai Nippon mendiamkan saja demi mencegah kortsluiting dengan Islam. Dan biarpun pemuka Islam menyimpan
keinginan sendiri menghadapi latihan Hizbullah di Lemahabang, Jepara pura-pura
bersungguh hati demi “Asia Timur Raya”.
Di
alam merdeka tentu keadaan berbeda. Anak-anak sekolah tambah jangkung, lebar dada
dan tebal pantatnya. Ini berkat gizi cukup dan kemakmuran yang makin merata,
terutama berkat kegesitan orang tua masing-masing. Jangan dibilang lagi tingkat
kecerdasan mereka yang semakin meninggi, sebagian disebabkan karena orang
sekarang mempunyai cara mengukurnya, dengan bantuan mesin yang tidak bisa
dibantah. Akibat mereka yang ingin sekolah jauh lebih banyak jumlahnya dari
bangku yang tersedia, maka yang berhasil duduk dengan sendirinya merupakan
makhluk pilihan, bagai ayam Bangkok di antara ayam kampung.
Betapa
istimewanya, mereka punya guru guru baik lelaki maupun perempuan. Menjelang
hari puasa, pendidik itu tegak berdiri di depan kelas.”Anak-anak, sesuai
panggilan zaman, kamu dpersiapkan untuk berjalan-jalan dari planet ke planet,
atau menyuruk jauh ke dalam perut bumi. Karena itu, kamu musti belajar keras,
tak terkecuali di bulan puasa. Satu hari terlewat berarti rugi dua puluh lima
tahun.”
Tempo,
26 Mei 1979
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar