Kutip

Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. ("Kesatria"; Kompas, 14 Juni 1985)

Bulan Puasa Anak-Anak Sekolah


Anak-anak, kasih unjuk lapor kepada orang tuamu. Bagi yang naik kelas, boleh bersenang hati. Bagi yang tidak, boleh murung, asal tidak banyak. Ini merupakan pentung ke kepalamu supaya lain kali belajar lebih baik. sekarang kamu boleh pulang, sampai ketemu habis lebaran,” kata menir van Daalen seraya mengusap batang hidupnya, suatu kebiasaan sebagian besar bangsa Belanda yang hidup di bawah permukaan laut.

Beresoknya, beduk puasa berdentam-dentam. Lepas sahur, anak-anak senewen itu masuk keluar kampung menabuh kaleng rombeng, kemudian duduk berjuntai di batang belimbing hingga lohor, sesudah itu tidur telungkup menekan perut keras-keras ke ubin langgar hingga hampir maghrib. Jika saat berbuka puasa tiba, mereka nyaris menelan seluruh isi bumi. Tapi ini tidak berlangsung lama, sembahyang tarawih shubuh, yang mereka lakukan sambil sekali dua menyikut rusuk temannya.

Dalam hubungan ini C. Snouk Hurgronje benar : pokoknya jangan sentuh agama Islam, bisa berabe. Toh kultur Jawa masih kuat, mampu memproduksi penduduk paling taat kepada atasannya seluruh dunia. jangan main paksa - seperti disaksikan Van der Plas di Madura tahun 1919 - murid sekolah bolos disuruh bersila di pendapa asisten Wedana seraya dicoreti punggungnya dengan tulisan “Je Maintiendrai”. Kapan pun juga main paksa tidak bisa menyelesaikan soal.

Dan dalam hubungan sentuh agama Islam ini, kolonialisme Belanda pada umumnya cukup bijak. Buat apa bikin perkara dengan mereka kalau maksud sedalam-dalamnya adalah soal rezeki, urusan perdagangan, een mercantile betrekking? Seyogianya menghormati pesantren-pesantren di Jawa pada umumnya terletak di tengah lautan kebuh tebu agar supaya santri Buntet di Cirebon atau Tebuireng di Jombang tidak mengobrak-abrik pabrik sambil menggulung kain sarung hingga lutut. Gula, yang merupakan gabus tempat kerajaan Belanda mengapung, tidak boleh terancam.

Zaman berganti, dan kini giliran Kawasaki-san berdiri di depan kelas. “Anak-anak, kasih unjuk rapor kepada orang tuamu. Bagi yang naik kelas, boleh bersenang hati. Bagi yang tidak, boleh murung, asal jangan banyak-banyak. Ini merupakan pentung ke kepalamu supaya lain kali belajar lebih baik. Sekarang kamu boleh pulang, sampai ketemu habis lebaran.” Sesudah menyanyikan lagu kebangsaan Kimigayo dan Seikerei itu berhamburan ke luar kelas bagai kelereng tumpah dari dosnya. Seperti biasa, esok hari beduk puasa berdentam-dentam, dan seperti biasa mereka bergolek-golek di lantai langgar. Satu dua juga yang diam-diam menggigit mangga muda di belakang kakus.

Dalam hubungan ini, H.J. Benda dalam ‘The Cresent and The Rising Sun’ benar: biarpun Bupati Bandung Wiranatakusumah menyimpan motif tersendiri menggalakkan Baitul Mal di beberapa keresidenan Jawa Barat, pemerintah Dai Nippon mendiamkan saja demi mencegah kortsluiting dengan Islam. Dan biarpun pemuka Islam menyimpan keinginan sendiri menghadapi latihan Hizbullah di Lemahabang, Jepara pura-pura bersungguh hati demi “Asia Timur Raya”.

Di alam merdeka tentu keadaan berbeda. Anak-anak sekolah tambah jangkung, lebar dada dan tebal pantatnya. Ini berkat gizi cukup dan kemakmuran yang makin merata, terutama berkat kegesitan orang tua masing-masing. Jangan dibilang lagi tingkat kecerdasan mereka yang semakin meninggi, sebagian disebabkan karena orang sekarang mempunyai cara mengukurnya, dengan bantuan mesin yang tidak bisa dibantah. Akibat mereka yang ingin sekolah jauh lebih banyak jumlahnya dari bangku yang tersedia, maka yang berhasil duduk dengan sendirinya merupakan makhluk pilihan, bagai ayam Bangkok di antara ayam kampung.

Betapa istimewanya, mereka punya guru guru baik lelaki maupun perempuan. Menjelang hari puasa, pendidik itu tegak berdiri di depan kelas.”Anak-anak, sesuai panggilan zaman, kamu dpersiapkan untuk berjalan-jalan dari planet ke planet, atau menyuruk jauh ke dalam perut bumi. Karena itu, kamu musti belajar keras, tak terkecuali di bulan puasa. Satu hari terlewat berarti rugi dua puluh lima tahun.”

Tempo, 26 Mei 1979



Melanggan artikel lewat email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar