MEMBACA koran itu bukan seperti
makan lemper yang sudah pasti enaknya. Misalnya, seringkali orang melewatkan
halaman depan yang memuat ucapan-ucapan aneh dan klise. Misalnya, pembaca tidak
tertarik lagi dengan istilah “penyesuaian”, karena kata itu sudah pasti berarti
kenaikan harga, dan bukan sebaliknya. Seorang murid SD malahan punya usul yang
amat progresif, bagaimana kalau lawan kata “turun” diganti saja dengan “sesuai”,
dan bukannya naik.
Bahkan, pembaca pun sering melewatkan
kolom induk karangan karena dirasa terlampau canggih bahasanya sehingga sulit
ditelan dan senantiasa nyangkut di tenggorokan. Lebih-lebih, masalah yang
ditulis di situ seperti tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang banyak
diperbincangkan khalayak baik di pasar maupun di bus-bus. Tidak sedikit orang
beli koran dan langsung membaca iklan-iklan kematian, mencari tahu umur
berapakah orang yang meninggal itu, sekadar membanding-bandingkan dengan
umurnya sendiri sambil bertanya-tanya apakah dia sanggup bertahan hidup sampai
seumur itu.
Dan yang paling mengharukan pembaca
adalah ketika ia membaca anjuran agar hidup sederhana. Hal ini sama sekali
tidak bermaksud meremehkan atau menentang, melainkan ia sekadar tidak tahu
bagaimana lagi cara menyederhanakan hidup yang sudah berabe ini. Ia beranggapan,
andaikata hidupnya yang sudah begini mesti disederhanakan lagi, berarti
tamatlah riwayatnya selaku manusia dan langsung masuk ke liang kubur, setidak-tidaknya
merosot jadi gembel tulen. Soalnya bukan apa. Ia pengangguran, masuk keluar
kantor hingga sepatu habis tiga pasang, dan tak satu pun bagian pegawai yang
mau ambil pusing terhadap ijazah perguruan tinggi yang dikempit di ketiaknya. Dalam
keadaan hidup yang sudah begitu berantakan dan tanpa harapan, dia betul-betul
pening memikirkan bagaimana tekniknya hidup itu lebih disederhanakan lagi. Ingin
rasanya ia menulis surat kepada redaksi surat kabar, minta sekadar juklaknya.
AKAN halnya berita yang paling
menarik perhatian adalah menyangkut Pengadilan Negeri Bandung yang menghadapkan
12 pelacur kelas “teri” seperti diberitakan oleh koran Pikiran Rakyat. Berita itu
lebih memikat dibanding berita tentang tanggapan-tanggapan terhadap calon DPRD
atau tentang skandal baru terungkap di Amerika Serikat sekitar penjualan
helikopter perang kepada Korea Utara sejumlah $ 40 juta. Apa anehnya ada
pengusaha jual kepada Korea Utara jika presidennya sendiri menggulingkan pemerintahan
Nikaragua yang sah? Apa anehnya murid kencing berlari jika guru kencing berdiri?
Apa anehnya bawahan mencuri jika panutannya menggondol barang kantor dan
ditumpuk di belakang kebunnya? Apa anehnya kawula jadi ngelantur jika pimpinannya
sendiri ngomong ngalor dan perbuatan ngidul?
Bahwa pembaca terpikat hatinya
membaca berita pengadilan pelacur Alun-alun Bandung itu, bisa dilihat dari
dialog antara hakim dengan terdakwa Elly umur 24 tahun.
“Di mana kamu tinggal,” tanya hakim.
“Saya tidak punya tempat tinggal,”
jawab Elly.
“Lho, kenapa bisa begitu?”
“Saya tinggal di mana saja. Di kolong
jembatan okey, di emper toko okey, sekali-kali juga di hotel.”
“Apa agamamu?” tanya hakim.
“Saya tidak punya agama,’ jawab Elly
tegas.
“Lho, tinggal di Indonesia kok tidak
punya agama?”
“Ya, saya sengaja tidak menyebut punya
agama. Sebab, jika saya mengaku punya salah satu agama, selain Tuhan akan
mengutuk, umatnya pun akan mencela.”
“Kalau begitu kamu lebih pantas
dibuang ke Moskow, ya?”
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa,”
jawab Elly berulang-ulang.
“Nama orangtuamu siapa?”
“Tidak tahu,” jawab Elly.
“Masa nama orangtua sendiri tidak
tahu?”
“Habis, orangtua saya meninggal saat
saya masih bayi.”
“Lantas selama ini apa kerjamu?”
tanya hakim.
“Minum-minum, jalan-jalan, terus molor.”
“Buat apa minum-minum?”
“Menghilangkan derita, Pak Hakim,”
“Kamu WTS, ya?”
“Siapa bilang saya WTS! Saya minta
saksi siapa saja di Bandung sini yang pernah pakai saya...”
“Wah, mana ada lelaki yang mengaku?!”
kata Hakim.
Persis saat itu masuk dua saksi dari
kepolisian, menerangkan bahwa Elly ditangkap di Alun-alun Bandung ketika mabuk
sempoyongan.
“Apa kamu mau insaf?” tanya hakim lembut.
“Tidak, saya tidak pernah mau insaf,
karena tidak pernah ada orang yang menginsafkan saya,” jawab Elly.
Sesudah dialog itu, majelis hakim
memutuskan terdakwa Elly dijatuhi denda Rp 3000 subsider tiga hari kurungan. Dengan
gaya mantap dan penuh keyakinan diri, Elly merogoh saku, melempar gulungan uang
ribuan ke atas meja hijau. Elly yang bercelana panjang cokelat dan berbaju
merak itu kemudian meninggalkan ruang sambil melambai-lambaikan tangan seraya
berkata nyaring, “Hidup WTS!” Hadirin tertawa senang melihat pemandangan itu.
(Asal Usul; Kompas, 1 Maret 1987)
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar