Sejak dunia berkembang, hanya ada Kecap
No. 1. Seumur hidup saya tidak pernah dengar ada kecap No. 2. Sedangkan
“ngecap” dimaksud omong kosong, bual besar, berlebihan, bagus kulitnya tapi
menipu tujuannya. Jika seorang bicara masalah pemerataan pendapatan atau
keadilan sosial sambil duduk-duduk di kursi goyang di rumah yang berlantaikan
marmer serta dikawal lima ekor anjing ras, boleh jadi dia ngecap. Atau jika
seorang bicara demokrasi sambil memiting leher orang lain dan menjejali
kerongkongannya dengan serbuk gergaji hingga megap-megap, boleh jadi dia
ngecap. Atau kalau seorang bicara Pancasila sambil bawa kelewang di tangan,
boleh jadi dia ngecap.
Kecap cuma satu sebutan, berbeda dengan
wartawan. Sedikitnya mereka punya tiga sebutan. Ada yang menyebutnya “kuli
tinta”, ada yang menyebutnya “nyamuk pers”, dan ada pula “ratu dunia”. Sebutan
“kuli tinta” biasa dikenakan kepada wartawan yang amat dekat hubungannya dengan
Humas, seperti dekatnya menantu dengan mertua, sehingga orang sulit membedakan
mana yang wartawan dan mana Humas. Interaksi keduanya sudah sempurna betul.
Iklim penuh tanggung jawab sudah komplet terjamin. Wartawan famili Humas ini
tentu menulis juga sebagaimana biasanya, tapi yang ditulis lebih sedikit dari
yang diketahuinya.
Sebutan “nyamuk pers” biasanya dialamatkan kepada wartawan yang tak bisa
duduk diam, senantiasa dalam keadaan gatal, dan kepingin mengubah dunia dengan
sekali kibas, sementara ia sendiri tidak mengalami perubahan fisik yang
berarti. Sebagian orang menyebutnya idealis, sebagian lagi menganggapnya orang
tolol yang mestinya lahir 50 tahun yang lalu. Tak seorangpun tahu, apa sebab ia
dipersamakan dengan binatang keji itu, tapi ditelannya tanpa perasaan amarah.
Bagaimanapun, nyamuk masih lebih berbobot ketimbang kecoak, bahkan lebih mulia
dibanding kadal atau bengkarung.
Sebutan lainnya tentu saja “ratu dunia”. Ini sebutan yang paling lumayan,
walau kedengaran berlebihan. Sangat boleh jadi, lantaran sebutan inilah rupanya
bnayak orang memilih wartawan sebagai profesinya, sesudah gagal melamar kerja
di kantor douane atau urusan logistik. Kapankah kita bisa berjumpa dengan “ratu dunia” yang istimewa ini? Gampang
saja: persis hari korannya ditutup oleh satu dan lain sebab.
Berbagai macam sebutan juga terjadi di dunia mobil bekas. Misalnya, kita
dianjurkan jangan beli mobil “bekas jurkam”, apalagi persis lepas kampanye.
Mobil itu sudah pasti sebuah mobil yang lelah, yang pegal maupun linu, akibat
dipakai menjerit kian kemari, demi demokrasi, demi perdamaian dunia, demi
mencegah perang bintang, demik kemakmuran penduduk, paling sedikit demi kepentingan
jurkam yang bersangkutan. Semakin banyak program yang ditawarkan, semakin
banyak mobil itu dipakai kian kemari. Memang belum tentu program itu akan
dilaksanakan sebagaimana bunyi janji, tapi yang sudah pasti mobil yang
bersangkutan sudah rapuh sendi-sendinya.
Sebaliknya kita anjurkan beli mobil “bekas dokter”, karena pada umumnya
tidak akan menimbulkan rasa kecewa. Dokter, sebagaimana makelar, memang memakai
mobil sebagaimana layaknya. Tapi, penggunaannya amat berkemanusiaan, lebih
banyak diparkir dibanding menggelinding di jalan raya. Sebab, dokter hanya
bergerak dari rumah tinggal ke rumah sakit serta rumah praktek, dan berdiam di
sana hingga larut malam, jauh melampaui batas waktu yang terpampang di papan.
Berbeda dengan dokter-dokter zaman
dulu yang sedikit kuno, dokter zaman sekarang kurang begitu suka mendatangi
panggilan ke rumah pasien, kecuali barangkali bila pasien itu tertimpa sebuah
kapal terbang. Akibat logis dari mobilitas yang tak seberapa ini, mobil bekas
pakainya pun nyaris tidak mengalami cedera yang berarti, segala sesuatu masih
tersangkut pada cantelan, segala sistem masih berjalan sebagaimana mestinya.
Akan halnya politisi “bekas
parlemen”, yang pasti banyak terdapat setiap habis pemilu, akan disambut
penduduk sepulangnya di kampung masing-masing, disambut dengan tangan terbuka
sebagaimana mestinya menyambut jubir yang baru saja kembali dari perjuangan
habis-habisan membela kepentingan rakyat dengan segenap anak bininya. Para
bekas jenis ini pun masih diminta dengan hormat untuk membuka suaranya,
mengumandangkan hati nurani penduduk, khusus menyangkut masalah-masalah yang
lupa dilontarkan saat masih di gendung perwakilan. Sifat lupa bisa menimpa
siapa saja dan di mana saja, tidak kecuali anggota parlemen, sejauh mereka
sebangsa manusia juga. Entah apa sebabnya, banyak bukti menunjukkan, suara para
bekas ini jauh lebih nyaring dibading mereka yang masih berada dalam gedung,
boleh jadi disebabkan adanya pengaruh sinar matahari.
Apakah penduduk akan menertawakan
sikap mereka yang aneh itu? Apakah penduduk akan mengungkit-ungkit kealpaan
yang diperbuat di masa lampau? Apakah
penduduk akan mengumpat-umpat dan minta ganti rugi? Sama sekali tidak. Penduduk
pemilik hak suara itu, yang kekuatannya bisa memindahkan tujuh gunung, pada
dasarnya orang-orang baik-baik, orang yang persediaan ikhlasnya
berlimpah-limpah, orang pemaaf luar biasa. Para politisi “bekas parlemen” yang
masih diminta buka suara itu dengan anggunnya tegak berdiri di atas drum kosong
yang dijungkirkan, memulai khotbanya dengan mantap, dan penduduk bersila
mendengarkan di sela-sela pohon singkong.
(Asal-usul; Kompas, 15 Pebruari 1987)
Melanggan artikel lewat email
Tidak ada komentar:
Posting Komentar