Kutip

Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. ("Kesatria"; Kompas, 14 Juni 1985)

Wajah


JABATAN seseorang tidak ada sangkut pautnya dengan wajah dan postur. Kennedy dengan sisiran rambut yang mengingatkan orang pada pemain band juga bisa jadi presiden AS. Nikita Khruschev yang tambun dan berkepala bundar, sepintas lalu kelihatan seperti petani gandum Ukraina, juga bisa jadi perdana menteri Uni Sovyet yang brilian dan masyhur. Humornya tinggi, humor petani Rus. Bung Karno yang pancaran pandang juga bisa jadi binar sehingga sulit orang mengadu pandang, juga bisa menjadi presiden. Sebaliknya, Ho Chi Minh yang bermata sayu dan mirip seorang pensiunan kepala sekolah dasar, ternyata sanggup membabat habis pasukan Perancis di Dien Bien Phu dan pasukan AS, juga bisa jadi kepala negara Vietnam. Mao Zedong yang tinggi besar dan berwajah dingin bagaikan patung lilin, toh mampu menggerakkan revolusi besar dan menghalau pasukan Chiang Kei Shek hingga hengkang ke Taiwan.
Jawaharlal Nehru memang ganteng semampai serta senantiasa menyelipkan sekuntum mawar merah di bajunya, tapi penggantinya Lal Bahadur Shastri berperawakan kecil dan mirip seorang kasir toko kelontong, toh bisa juga jadi perdana menteri. Jamal Abdul Nasser yang raksasa, jari jemarinya saja sebesar pisang ambon, toh akhirnya digantikan oleh seorang Anwar Sadat yang agak keling diukur dari warna orang Mesir, seorang yang kalah jauh dibanding postur Jamal yang perkasa.
Atau Sihanouk. Orang yang pendek bersuara nyaring seperti lazimnya seorang makelar itu toh bisa jadi orang menentukan di Kamboja. Orang pernah tanya, kenapa sih Sihanouk ngomongnya senantiasa nyaring dan nyerocos seperti ada yang loncer? Istrinya Monica menjawab: “Kamboja itu lengang, penduduknya cuma enam juta. Karenanya Sihanouk, mesti nyaring suaranya, kalau tidak negeri akan sunyi senyap.”
Chou En Lai tergolong perdana menteri dan menteri luar negeri yang ganteng, beralis tebal dan berair muka merah jambu. Memancarkan intelegensi tinggi. Tapi, penggantinya Menteri Luar Negeri Chen Yi, orang kebalikannya, bermuka Cina kebanyakan, bahkan sepintas lalu tampak seperti seorang jagal babi karena suka angkat kaki di kursi dan hanya memakai singlet.

AMBILLAH contoh di negeri awak. Idham Chalid itu, siapa tidak kenal dia? Perawakannya tipis, tak ubahnya dengan umumnya pedagang batu permata dari Banjar. Tapi, dialah orang yang pegang rekor paling lama menduduki kursi kekuasaan politik negeri ini sejak tahun 1956, dan paling lama pula menjabat pimpinan NU. Dari wajah dan posturnya, Abdurrahman Wahid merupakan kebalikan yang mencolok. Orang yang disebut belakangan ini bertubuh gempal, ibarat jambu kelutuk yang ranum, berkaca mata tebal, bisa tidur dimana saja, toh bisa sama-sama jadi ketua NU. Idham Chalid memiliki kelincahan logika yang tinggi, dan Abdurrahman Wahid punya kebolehan humor yang mengejutkan, seakan-akan dia jambret begitu saja dari laci.
Ambillah contoh John Naro. Pria perlente yang partainya digembosi orang hingga separuh, yang tidak segan-segan tarik suara di restoran karena suaranya memang tenor, yang mencium tangan nyonya Mien Sugandhi di muka umum sebagaimana layaknya pria Perancis, toh punya keberanian luar biasa untuk mencalonkan diri jadi wakil presiden Republik yang besar ini.
Ambillah contoh Ajip Rosidi yang kini sudah menginjak umur 50 tahun. Dilihat dari potongan luarnya, lelaki asal Jatiwangi yang tak kenal sisir seumur hidupnya dan selalu membiarkan kemeja menjurai ke luar, dan kemana-mana bersandal itu, ternyata seorang yang alim dan produktif dan seorang kakek yang telaten. Jika anak muda bertemu dengannya di jalan, pasti dianggapnya seorang petani yang lagi coba-coba urbanisasi ke kota.
Atau, ambillah seniman lain Totok Sudharto Bachtiar yang sajak-sajaknya biasa dikaji anak-anak-anak sekolah menengah. Orang ini jadi hitam legam, habis terbakar mentari karena jadi pelatih tenis, tidak ada urusan dengan sajak lagi, akibat dunia sekarang tidak memerlukan penyair melainkan pemborong, sehingga para penyair jadi terlempar ke alam dongeng. Penyair yang biasa dikesankan seorang kerempeng yang kurang tidur dan kurang makan, sekarang tampil sebagai seorang kekar dan pontang-panting mengejar bola, dan peroleh bayaran darinya.

DI dunia tentara pun terjadi hal yang menarik. Jika Pangab Benny Murdani punya sosok tubuh yang seram dan kebanyakan merengut, sebaliknya Pangab Try Sutrisno yang berair muka seorang ustad dan seakan dia itu kelihatan senantiasa seperti orang baru keluar dari salon. Murdani menunjukkan seorang tentara yang keras, Try tampak bagai seorang pria yang sejuk dipandang.
Pada saat majalah Tempo berulang tahun di Hotel Sahid tahun lampau, diadakanlah diskusi yang menampilkan Benny Murdani sebagai pembicara utama dengan moderator Fikri Djufri. Macam-macamlah persoalan yang diajukan wartawan, menyangkut kebebasan pers, masalah tanggung jawabnya terhadap kestabilan, dan hal-hal semacam itu.
Tapi, ada pertanyaan aneh yang menyimpang. Pertanyaan ini datangnya dari wartawan, Aristides Kattoppo. Dengan enak dia bertanya sesudah terlebih dulu minta maaf: “Kenapa sih Benny jarang ketawa dan senantiasa cemberut?”
Benny yang menjawab dengan contoh: “Menurut kepercayaan Cina, saya ini dilahirkan dalam “tahun monyet”. Saudara-saudara tahu kan monyet itu, antara ketawa dan merengut tidak ada bedanya.” Para hadirin tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban yang jitu dan bagus itu.

(Asal Usul; Kompas, 20 Maret 1988)

Melanggan artikel lewat email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar