Kutip

Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. ("Kesatria"; Kompas, 14 Juni 1985)

“Status Quo”


SEORANG nyonya beratnya 58 kg 6 ons. Ia ingin tetap seberat itu kalau bisa hingga meninggal dunia. Tiap menghadapi meja makan ia teliti dengan matanya yang bundar, piring demi piring, agar jangan ikut tersuap makanan yang bisa bikin gemuk, persis seperti arkeolog memeriksa tengkorak. Tiap pagi dan sore nyonya berjingkrak-jingkrak, menggelepar-gelepar, rebah dan bangun serta berguling-guling, menjaga kondisi badan. Ini artinya nyonya menjaga status quo pada berat 58 kg 6 ons, tidak lebih dan tidak kurang. Dan karena kondisi badan bukan cuma ditentukan oleh makanan melainkan pikiran, nyonya tidak sudi diganggu dengan beban pikiran yang tidak perlu. Itu sebabnya ia mengambil sikap liberal dalam keluarga, artinya tidak ambil pusing berapa kali suaminya seminat atau rapat kerja dalam seminggu, walau di hatinya bertanya-tanya, buat apa sebetulnya rapat sesering itu. Maka dari itu, nyonya sehat bagaikan seekor ikan bandeng.
Seorang lurah juga menginginkan adanya status quo di daerahnya agar senantiasa tenteram dan tenang, tiada riak apalagi gelombang, seperti halnya sebuah akuarium. Satu-satunya cara untuk menghasilkan suasana status quo seperti itu adalah berusaha agar semua orang punya pendapat seragam dengan pendapatnya, semua langkah dan sepak terjang mesti pas dengan ukuran yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Sekecil apa pun perbedaan pendapat yang timbul, dianggapnya seperti ada gempa yang bisa mengganggu kampung. Lurah menjaga kondisi status quo begitu cermatnya seperti orang menjunjung botol di atas kepala. Begitu sempurnanya keadaan status quo itu tercipta, sehingga suasana kampung amat tenteram sehingga dari jarak satu kilometer kampung itu kelihatannya seperti sedang tertidur baik malam ataupun siang. Menurut lurah, lebih bagus penduduk kelihatan tertidur daripada berisik. Berhubung penduduk tidak punya pilihan lain daripada kehidupan yang amat rutin, maka lurah senantiasa tampak anggun bagaikan seorang dewa format kampung.

SETIAP jenasah mau berangkat dari rumah duka, wakil keluarga berdiri di ambang pintu beri sambutan. Berterima kasih kepada para pelayat, minta dimaafkan andaikata yang meninggal ada kesalahan baik disengaja atau tidak, dan kalau ada baik utang atau piutang dari almarhum, harap berhubungan dengna ahli waris untuk diselesaikan sebagaimana mestinya. Sesudah itu jenasah diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir diiringi sedu sedan dan deraian air mata.
Ke tempat peristirahatan terakhir? Itu dulu. Sekarang bisa saja peristirahatan itu bukanlah yang terakhir. Kuburan tidak bisa lagi dianggap status quo tanpa batas. Sebab, ada kuburan yang harus dibongkar dan dipindahkan karena tempatnya buat rumah susun, seperti terjadi di Karet, Jakarta. Tulang-tulang mayat yang sudah berdiam di sana puluhan tahun dibungkus rapi dan dibawa pindah ke wilayah pekuburan lain, misalnya di Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Apakah ini juga tempat peristirahatan terakhir? Belum tentu. Sebab, ada makam famili saya pindahan dari kuburan Karet, mesti pindah lagi ke tempat lain karena akan dijadikan jalan intern. Ini berarti, hukum kedinamisan dan mobilitas juga masih berlaku buat orang yang sudah meninggal dunia. Kondisi status quo bagi si jenasah masih bisa ditinjau sewaktu-waktu. Mengapa bisa begitu? Hanya gubernur atau wali kota dan dinas pemakaman saja yang mampu menafsirkan bagaimana mestinya “tempat peristirahatan terakhir” itu, tanpa harus pindah kian-kemari.

BERBEDA dengan manusia (walau sudah jadi jenasah) yang masih terbuka untuk penggusuran, tidak demikian halnya dengan binatang. Keadaan lebih mapan dan terjamin. Misalnya, menteri Emil Salim menginginkan agar kita bangsa manusia menaruh kasih dan sayang kepada binatang, karena itu kebun binatang harus diperlihara status quo-nya, jangan dihalau untuk keperluan lain. Dekat jauhnya kalbu manusia dengan binatang merupakan tolok ukur tinggi rendahnya kebudayaan. Makin bagus perikebinatangan seseorang, makin tinggi perikemanusiaannya. Bila seseorang menggebuki orang hingga terampun-ampun, boleh jadi tidak jadi pembicaraan umum. Tapi bila ia menghajar seekor anjing hingga terkaing-kaing, maka orang menganggapnya biadab. Menggebuki orang bisa disandarkan rupa-rupa dalih, hal yang tak bisa dilakukan terhadap seekor anjing.
Semua koruptor adalah bangsat sosial, tapi koruptor yang memelihara enam ekor kucing ras dan sepuluh ekor kuda masih lebih bagus ketimbang koruptor yang tidak memelihara apa-apa kecuali memperkuda penduduk sekampung. Seorang manusia bisa saja keluyuran tanpa tempat berteduh dan orang lain pun, tapi hal demikian tak bisa terjadi pada seekor gajah atau monyet. Memang, keharusan melindungi gajah atau monyet tidak tercantum di dalam konstitusi, berbeda misalnya dengna fakir miskin, tapi dalam praktek justru binatang itu lebih mendapat perhatian yang memadai. Manusia tanpa rumah dianggap biasa-biasa, tapi gajah tanpa hutan dianggap luar biasa.
Pandangan status quo atas kebun binatang ini membuat Indonesia sedikit lebih maju, mendekati Inggris yang (walau buruk selaku kolonial) menaruh rasa sayang yang tinggi kepada binatang, sehingga kucing Itali atau angsa Perancis yang dianggap tolol itu layak merasa iri dengan teman sebangsanya di Inggris. Bukankah orang Inggris tidak merasa kikuk dan rendah diri makan semeja dan tidur sebantal dengan binatang kesayangannya, seakan-akan binatang itu saudara sepupunya sendiri? Berbeda jika perbuatan itu dilakukan terhadap manusia yang berbeda kulit.
Tapi, biarpun orang Inggris amat kasih kepada binatang, bukan berarti binatang tidak menaruh dendam kepada mereka. Binatang-binatang itu menganggap, di balik sayang terselip maksud perbudakan. Karena itu, atas hasutan binatang babi, para binatang pada suatu saat bisa tergugah lewat semboyan “Seluruh binatang Inggris, bersatulah!”, dan menumbangkan kekuasaan manusia serta mendirikan “Republik Binatang”. Akan tetapi, sesudah penumbangan kekuasaan manusia itu, binatang babi malah angsur-berangsur menjadi otoriter dan memerintah sesama binatang lebih keras dan tidak demokratis dibanding manusia sendiri. Begitulah menurut cerita fiktif Binatangisme atau Animal Farm karya George Orwell, seorang wartawan dan satiris, yang juga menulis buku 1984 yang terkenal di dunia.

(Asal Usul; Kompas, 16 Agustus 1987)

Melanggan artikel lewat email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar