Kutip

Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. ("Kesatria"; Kompas, 14 Juni 1985)

Kecuali


 DI RT saya ada gadis bernama Sri Lestari. Sebuah nama yang cantik. Orangnya sendiri memikat, karena hidungnya bangir, dan bibirnya seperti baru saja diolesi mentega. Saya tidak tahu persis asal-usulnya sehingga dia diberi nama seperti itu. Yang jelas, Sri Lestari itu sama sekali tidak bisa dianggap “lestari”. Apanya yang lestari?  Pacarnya saja tidak lestari. Dalam dua tahun belakangan ini tidak kurang dari 4 kali berganti pacar. Berarti, seorang pacar untuk satu semester. Fakta ini mengakibatkan opini gadis-gadis sebayanya terpecah-pecah. Ada yang kagum. Ada yang iri. Ada yang mencibirkan bibir. Dan ada pula yang menganggapnya “subversif”.
“Kamu jangan menyalahkan Sri Lestari saja, dong,” kata seorang.
“Habis, mesti salahnya siapa? Apa mesti salahkan Pak RT?” jawab lainnya.
“Lelaki juga tolol. Mesti cari input dulu dong. Zaman “revolusi komunikasi” kok masih saja salah simpul dan salah pilih. Apa tidak dengar reputasi Sri Lestari seperti itu? Kok masih nekat pilih dia? Bukankah di negeri in ada 50 juta gadis seumurnya? Apa bakal mati kalau tidak pilih Sri Lestari?”
“Lelakinya  juga tolol. Mesti cari input dulu dong. Zaman “revolusi komunikasi” kok masih saja salah simpul dan salah pilih. Apa tidak dengar reputasi Sri Lestari seperti itu? Kok masih nekat pilih dia? Bukankan di negeri ini ada 50 juta gadis seumurnya? Apa bakal mati kalau tidak pilih Sri Lestari?”
Itu tadi tentang pacar. Tentang binatang kesayangan pun Sri Lestari tidak punya selera yang lestari. Bulan ini dia senang kucing, bulan lain dia gemar mengelus-elus punggung kambing. Bulan Januari dia tergila-gila burung kutilang, bulan April dia mengagumi burung parkit yang cerewetnya bukan alang-kepalang. Sedangkan bulan Desember bukan jenis burung lagi kesukaannya, melainkan ikan. Sri Lestari memelihara ikan Nirwana, atau ikan naga, atau apa pun namanya, pokoknya ikan berharga amat mahal yang siripnya gemerlapan, mukanya buruk seperti anjing, namun konon bisa mengundang banyak rezeki, suatu kepercayaan omong-kosong besar yang tak pernah terbukti.
Akibat nama Sri Lestari yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan sifat lestar itu, saya pun mulai bimbang, apa betul ada sesuatu yang bisa lestari di atas dunia ini. Bukankah sesuatu itu senantiasa berubah-ubah? Bukankah perubahan itu memang obyektif perlu> bukankah yang permanen, yang abadi, adalah proses perubahan itu sendiri? Kenapa sih orang kok suka benar sama lestari-lestarian? Jika ular saja bisa berganti kulit, mengapa keadaan mesti lestari, mesti permanen?
“Ah, segala sesuatu itu tentu ada kecualinya dong. Dari sejuta kerbau, pasti saja ada seekor yang bule,” kata kawan saya.
“Apa maksudmu?”
“Maksudku ada juga yang punya sifat lestari itu.”
“Misalnya?”
“Misalnya makanan di dalam restoran kereta api.”
Maka berpidatolah kawan saya itu ikhwal kereta api. Berhubung di negeri ini kendaraan beroda besi itu monopoli pemerintah, maka kita sebagai penduduk tidak punya pilihan lain. Suka atau tidak suka, kita mesti naik kereta api itu. Bersih atau kotor, kita mesti telan dengan pasrah. Bahkan terlambat atau tak kebagian tempat duduk pun kita mesti tersenyum saja. Persis seperti nasib, kita tidak punya pilihan lain. Berhubung kita sudah jadi warga negara ini, maka kita pun mesti naik kereta api yang satu itu, habis perkara. “Lantas yang kau maksd lestari-lestari itu apa?” tanyaku.
“Bukankah sudah kubilang makanan di restorasinya? Baik jenis maupun rasa masakan di restorasi kereta api itu tidak pernah berubah sepanjang zaman. Sedikit pun tidak. Dari tahun ke tahun. Seakan-akan sudah menjadi hukum alam. Lestari dalam arti makna yang sebenar-benarnya lestari. Aku tidak tahu apakah memang sengaja dilestarikan, pokoknya lestari. Ibarat matahari terbit di timur dan tenggelam di barat, begitu pula halnya yang terjadi di restorasi kereta api. Tampaknya di situ berlaku hukum besi.”
“Bisa beri penjelasan detil?”
“Mengapa tidak. Lihat saja nasi gorengnya. Apa yang dimakan nenekmu dulu persis sama dengan rasa nasi goreng yang kamu makan sekarang ini. Tidak meleset barang sedikit pun. Ada gundukan nasi, ada sepotong kerupuk dibungkus plastik, ada acar ketimun, dan ada sebutir cabe rawit, ada telur mata sapi, dan ada sesendok kecil saus tomat.”
“Dan rasanya?” tanyaku.
“Netral. Artinya: tidak pedas, tidak asin, tidak manis, tidak pahit dan juga tidak gurih. Walhasil, singkat kata tidak ada rasa apa-apa.”
“Apa maksudmu tidak ada rasa apa-apa?”
“Ya tidak ada rasa apa-apa.” Jawab kawanku.
“Juga tidak ada nasi goreng?”
“Juga tidak ada nasi goreng.”
“Ya, namanya memang nasi goreng.”
“Kok begitu?”
“Ya begitu. Namanya saja sudah monopoli,” jawabnya.
“Untuk selamanya begitu?”
“Ya, untuk selamanya. Itu sebabnya kusebut lestari. Satu-satunya yang lestari di atas bumi ini.”
Agar persahabatan saya tidak rusak, saya akur saja. Agar supaya kawan saya itu lestari sebagai kawan, saya akur saja. Jika saya tidak akur, pasti ada keguncangan. Pasti ada gap kata orang. Akur itulah yang paling aman.

(Asal Usul; Kompas, 30 November 1986)


Melanggan artikel lewat email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar